Medan (ANTARA News) - Wacana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang didegungkan pemerintah belakangan ini sangat berpotensi mengancam kebebasan pers di tanah air, terutama dalam melakukan kontrol sosial, kata Wakil Ketua Dewan Pers, Saba, Leo Batubara. Dewasa ini ada kecenderungan pemerintah melalui menteri dan DPR RI mencoba kembali mengekang kebebasan pers dengan memberi otoritas kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) melalui sejumlah peraturan pemerintah (PP), ujarnya dalam diskusi Efektivitas Pelaksanaan UU Pers di Medan, Rabu. Menurut dia, empat menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang berpotensi mengancam kebebasan pers. Pertama, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) pada masa Hamid Awaluddin telah mengajukan RUU KUHP berisi 61 pasal yang dapat mengkriminalkan pers.Kedua, Menteri Pertahanan (Menhan), Juwono Sudarsono, juga menerbitkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara. Ketiga, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), M. Ma`ruf, menerbitkan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Perlindungan Pejabat. Keempat, menurut Batubara, diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Penyiaran dan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 17 tahun 2006 yang bertentangan dengan UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, serta pernyataan anggota Komisi I DPR RI dalam diskusi kebebasan informasi di Gedung Dewan Pers, Jakarta, yang menyebutkan 90 persen anggota DPR RI tidak lagi senang dengan kemerdekaan pers. "Itu berarti dari hulunya, mereka tidak menghendaki adanya keterbukaan informasi dan sengaja membiarkan terjadinya korupsi," katanya. Berdasarkan data "annual worldwide press freedom index", ia mengemukakan, kemerdekaan pers Indonesia dalam beberapa tahun terkahir mengalami penurunan dari peringkat 67 dari 139 negara pada tahun 2002 menjadi peringkat 111 dari 166 negara tahun 2003, serta dari peringkat 117 dari 167 negara pada 2004 dan peringkat 102 dari 167 pada 2005. Padahal, ia menjelaskan, sejak 21 Mei 1998 pers profesional mengungkap kinerja pejabat yang tidak becus, dugaan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) pejabat dan pebisnis, pelangaran HAM, serta dugaan beroperasinya bandar judi, meski nyaris tidak ada yang direspon oleh DPR RI dan aparat penegak hukum. Bahkan, wartawan dan pers dituduh kebablasan, dibiarkan diterpa oleh ratusan tindak kekerasan dan beberapa diantaranya yang melakukan penilaian terhadap kinerja pejabat terancam masuk penjara atau denda yang dapat membangkrutkan perusahaan, demikian Leo Batubara. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007