Jakarta (ANTARA News) - Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa selalu bersikap objektif dan tidak pernah mendapatkan intervensi apa pun dari pemerintah terkait dengan data pertumbuhan ekonomi yang disajikan tiap triwulan itu. "Kepala BPS bersama pimpinan BPS pernah dipanggil Presiden dan beliau meminta supaya BPS objektif untuk menyajikan potret yang sebenarnya, meskipun angkanya tidak menggemberikan pemerintah," kata Kepala BPS, Rusman Heriawan, kepada ANTARA News di Jakarta, Rabu. Dia mencontohkan, pihaknya tetap menyampaikan inflasi yang tinggi pasca kenaikan harga BBM pada Oktober 2005 lalu dan pertumbuhan ekonomi 2006 yang hanya 5,5 persen, meski pemerintah menargetkan 5,8 persen. "Angka 5,97 persen itu adalah potret dari Sabang sampai Merauke yang kita hitung secara detil komoditas per komoditas, dan wilayah per wilayah," katanya. Ketika ada terjadi pertumbuhan ekonomi di Papua hingga sekitar 50 persen, dia menuturkan, pihaknya langsung mengklarifikasi ke BPS setempat untuk mencek kebenarannya. "Dikatakan bahwa itu sumbangan dari Freeport sendiri yang mencapai 70 persen terhadap pertumbuhan ekonomi regional Papua," katanya. Dia juga memastikan bahwa pihaknya tidak melakukan diskusi apapun dengan pemerintah menjelang pengumuman pertumbuhan ekonomi per triwulan terkait hasil survei BPS. Itu berarti, tambahnya, pemerintah menerima angka itu bersamaan dengan saat publik menerima angka itu. "Ada agenda sosialisasi atau diskusi dengan para pengamat ekonomi karena mungkin ini ada masalah distorsi komunikasi. Kita bisa manfaatkan forum ini untuk melihat ke dalam dan menambah wawasan kawan-kawan di BPS," katanya. Sebelumnya, ada beberapa pengamat ekonomi yang mensinyalir BPS telah diintervensi oleh pemerintah untuk kepentingan politis dengan tujuan pencitraan bahwa ekonomi Indonesia membaik. Bahkan, kelompok pengamat ekonomi tersebut telah merencanakan untuk bertemu dengan Ketua Komisi XI DPR Awal Kusuma untuk mendesak pembentukan Panja Statistik. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007