Pasca kemerdekaan Indonesia, kebijakan pemerintah, khususnya dalam hal penetapan kurikulum, mewajibkan siswa untuk menghafal 25 judul buku dalam waktu tiga bulan dan mengarang cerita 36 kali dalam setahun. Namun semua kebijakan itu dihapuskan dari kurikulum sejak sekitar 1960-an hingga kini.
"Sekarang, di sekitar 25.000 SMA di seluruh Indonesia, pelajaran mengarang hanya sekali setahun, yaitu pada saat ujian kenaikan kelas saja. Jadi, sudah seperti Idul Fitri saja," ungkap Taufik Ismail saat ditemui di peresmian Sanggar Sastra Balai Pustaka di Jakarta, Selasa (16/05).
Ironi ini, lanjutnya, pada dasarnya berkorelasi dengan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kegiatan pelestarian kesusasteraan Indonesia. Dia pun menegaskan kalau sudah sepatutnya pemerintah memberikan subsidi terhadap pelestarian sastra dan budaya Indonesia.
Taufik mengapresiasi inisiatif Balai Pustaka untuk mendirikan Sanggar Sastra Balai Pustaka dalam rangka hari jadinya yang ke-100. Hal ini merupakan gebrakan dalam rangka menanamkan kecintaan membaca buku dan menulis pada generasi muda di Indonesia.
"Saya menaruh harapan besar kepada sanggar ini karena ini akan menjadi wadah bagi banyak sastrawan dan seniman untuk berlatih, bertukar pikiran, dan, tentunya, untuk mengekspresikan semangat mereka akan kecintaan terhadap sastra dan seni," lanjutnya.
Pewarta: prwire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2017