Jakarta (ANTARA News) - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan pihaknya belum menerima surat dari Kementerian Hukum dan HAM soal keputusan pembebasan bersyarat mantan jaksa, Urip Tri Gunawan, terpidana kasus suap dan pemerasan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Ada surat yang dikirimkan ke KPK pada awal Mei ini tetapi itu permintaan penjelasan tentang pembayaran denda dan kemudian perhitungan dari denda itu sendiri. Jadi bukan permintaan persetujuan tentang pembebasan bersyarat dari Urip Tri Gunawan," kata Febri di gedung KPK, Jakarta, Senin.
KPK pun meminta Kementerian Hukum dan HAM menjelaskan secara detil soal pemberian pembebasan bersyarat terhadap mantan Jaksa Urip Tri Gunawan itu.
"Yang kami ketahui vonis yang dijatuhkan terhadap terpidana Urip Tri Gunawan adalah 20 tahun dijatuhkan pada sekitar 2008 pada saat itu sampai kemudian di periode berikutnya berkekuatan hukum tetap jadi kalaupun sampai dengan saat ini telah dipotong masa tahanan tentu belum semua masa hukuman tersebut dilakukan," kata Febri.
Terkait pembebasan bersyarat itu, Febri menyatakan KPK meminta agar Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 harus ditegakkan dengan sepenuhnya.
Baca juga: (KPK akan panggil Artalyta Suryani terkait BLBI)
Baca juga: (KPK siap hadapi praperadilan tersangka SKL BLBI)
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ditetapkan ketika Menteri Hukum dan HAM dijabat oleh Amir Syamsudin.
PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur mengenai pemberian remisi terhadap narapidana. Narapidana untuk kasus-kasus pidana khusus tidak mendapatkan remisi atau pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana.
"Jadi itu berangkat dari pemahaman bahwa ada sikap yang khusus dari negara terhadap terpidana kasus korupsi, narkotika, terorisme sebagai sebuah kejahatan yang dipandang sangat serius. Itu yang pertama kali harus diperhatikan dan ditegakkan secara lurus tentu saja yang menegakkan ini adalah Kemenkumham dalam hal ini Ditjen Pemasyarakatan," tuturnya.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa ke depan perlu menjadi sikap bersama bagi penegak hukum, khususnya bagi hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di mana tentu saja pada proses persidangan untuk memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak dari narapidana.
"Salah satunya adalah pencabutan hak remisi atau pencabutan hak lain melalui putusan pengadilan sehingga wibawa dari putusan pengadilan yang sudah menjatuhkan hukuman maksimal itu memang benar-benar bisa dilaksanakan tanpa adanya diskresi-diskresi, tanpa adanya proses implementasi yang menimbulan perdebatan dari waktu ke waktu," ucap Febri.
Selain itu, kata dia, peran KPK sebagai penuntut umum juga akan kami bicarakan lebih lanjut apakah pencabutan hak remisi itu akan dimasukkan dalam tuntutan atau itu menjadi sebuah sikap atau kesepahaman bersama dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
KPK pun juga mempertanyakan soal Urip Tri Gunawan yang baru menjalani masa hukuman penjara sembilan tahun sudah diberikan pembebasan bersyarat.
"Bukan kah di Undang-Undang Pemasyarakatan misalnya diatur telah menjalani minimal 2/3 dari masa pidananya, nah apakah masa pidana yang dihitung itu 20 tahun atau setelah dipotong remisi atau potongan-potongan yang lain, tafsir ini perlu lebih dijelaskan karena kita bicara tentang akibatnya terhadap terpidana-terpidana kasus korupsi," ujarnya.
Sebelumnya, mantan Jaksa Urip Tri Gunawan divonis 20 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider satu tahu kurungan dalam kasus suap dan pemerasan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Urip Tri Gunawan dinyatakan bebas bersyarat oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM pada Jumat (12/5) lalu.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017