Singapura/Washington (ANTARA News) - Sejumlah lembaga pemerintahan dan perusahaan mengaku terkena serangan siber WannaCry pada Senin, sementara pakar keamanan siber mengingatkan akan kemungkinan dampak lebih luas.
Virus itu --yang telah mengenai ratusan ribu komputer di pabrik, rumah sakit, dan sekolah di 150 negara-- bekerja dengan mengunci akses terhadap berkas komputer dan menyebar melalui surat elektronik. Untuk membukanya, pihak terkena harus membayar sejumlah uang tebusan.
Michael Gazeley, direktur pelaksana Network Box, perusahaan layanan jasa keamanan siber di Hongkong, mengatakan bahwa masih ada kemungkinan penyebaran lebih lanjut di Asia, mengingat pekerja perusahaan baru membuka surat elektronik pada hari kerja.
Di China, raksasa energi PetroChina mengaku mengalami masalah sistem pembayaran di sejumlah SPBU mereka akibat virus WannaCry. Sejumlah lembaga pemerintah negara tersebut, termasuk kepolisian, juga melaporkan terkana serangan serupa.
Di Jepang, Badan Kepolisian Nasional menyatakan terdapat dua kasus serangan pada Ahad, di sebuah rumah sakit dan seorang pribadi. Tidak ada kerugian material dalam dua kasus tersebut.
Perusahaan Hitachi Ltd. juga mengaku serangan siber WannaCry telah menginfeksi sistem komputer mereka, sehingga tidak bisa menerima ataupun mengirim surat elektronik dalam beberapa kasus. Persoalan tersebut masih belum teratasi hingga kini.
Sementara itu, di Indonesia, rumah sakit kanker terbesar Darmais di Jakarta tidak bisa melayani ratusan orang yang terpaksa mengantri karena komputer di institusi tersebut juga terinfeksi. Sampai pagi tadi, beberapa orang masih harus mengisi formulis secara manual.
Di negara lain, sejumlah perusahaan meminta karyawannya untuk tidak membuka tautan ataupun lampiran surat elektronik mereka. Satu sekolah di Korea Selatan bahkan melarang para murid menggunakan Internet.
Kantor kepresidenan Korea Selatan menyatakan ada sembilan kasus virus WannaCry di negara tersebut.
Di Australia, Dan Tehan, kementerian yang bertanggung jawab untuk keamanan siber, menyatakan bahwa hanya ada tiga perusahaan yang terinfeksi virus. Sementara Selandia Baru mengaku belum menerima laporan adanya kasus.
Pakar keamanan siber mengatakan bahwa penyebaran virus tebusan itu nampak melambat sejak pertama kali mewabah pada Jumat lalu. Namun mereka mengingatkan adanya potensi serangan lebih lanjut.
Pelaku diduga tengah mengembangkan versi baru dari yang mengeksploitasi kelemahan sama pada versi perangkat lunak Windows yang sudah tidak mendapatkan layanan keamanan resmi dari Microsoft.
Di Hongkong, Gazeley mengaku telah menemukan versi baru virus sama yang tidak menggunakan surat elektronik untuk menarik para korban.
Dalam versi baru itu, para pelaku meretas sejumlah situs dan mengganti tautan yang ada dengan virus yang sama. Gazeley mengaku belum bisa menyimpulkan berapa banyak situs yang terinfeksi.
Gazeley menambahkan bahwa sejumlah perusahaan besar sebenarnya terkena serangan WannaCry, namun mereka tidak ingin mengakuinya di depan umum.
Presiden Microsoft Brad Smith sudah mengakui bahwa virus WannaCry menggunakan alat peretas yang dikembangkan oleh Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat yang bocor ke publik pada April lalu.
Lembaga penelitian nirlaba Amerika Serikat, Cyber Consequences, memperkirakan kerugian akibat serangan tersebut mencapai ratusan juta dolar, namun tidak akan melampaui satu milyar dolar AS, demikian Reuters.
(G005/B002)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017