Pengamanan di Stasiun Changchunjie dan jalan Chanchunjie yang menuju Niujie, pusat komunitas muslim terbesar di Beijing, China, ditingkatkan pada hari Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi kompleks masjid di Niujie pada Minggu (14/5) pagi.

Pengunjung yang memasuki kompleks masjid tua seluas 10.000 meter persegi itu juga harus melalui pos pemeriksaan di pintu masuk yang menghadap Niujie dan lorong menuju masjid.

Namun mereka maklum karena masjid berarsitektur Tiongkok klasik dengan dominasi warna merah dan ornamen naga yang dibangun tahun 996 Masehi itu akan dikunjungi oleh presiden ketujuh Republik Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Niujie artinya jalan sapi. Namanya didaposi dari banyaknya penjual makanan halal yang didominasi daging sapi di jalan yang ada di Distrik Xuanwu, Beijing.

Masjid Niujie, yang mampu menampung 1.000 orang, merupakan pusat komunitas umat Islam di Beijing yang meliputi sekitar 250 ribu orang. Masjid itu direnovasi tahun 1955, 1979, dan 1996.

Masjid Niujie juga dikenal sebagai kampung muslim karena kawasan sekitar masjid itu menjadi tempat tinggal tidak kurang dari 18.000 keluarga muslim.

Presiden Jokowi memasuki kompleks masjid itu pukul 11.10 waktu setempat melalui pintu samping, pintu khusus untuk para tamu VVIP.

Ia datang terlambat sekitar 40 menit dari jadwal semula karena harus menghadiri semua rangkaian acara pembukaan KTT Kerja Sama Internasional Jalur Sutera dan Sabuk Maritim (Belt and Road Forum) di CNCC, sekitar 14 kilometer dari Niujie.

Setibanya di masjid, Presiden bergegas mengambil air wudhu, lalu menunaikan shalat tahiyyatul masjid dua rakaat seperti anjuran Rasulullah SAW.

Setelah beberapa menit berdoa, Presiden yang yang mengenakan setelan jas warna hitam dengan pita Merah-Putih dan lambang Garuda di dada kiri lengkap serta songkok hitam menghampiri imam dan beberapa pengurus masjid.

Dengan penuh perhatian Presiden mendengarkan keterangan mengenai pembangunan masjid itu dari dari Ali Yang Gunjin, yang sehari-hari menjadi imam shalat.

Setelah itu, Presiden memberikan beberapa cendera mata: kaligrafi Surat Al Fatihah, mushaf Alquran khas Indonesia, songkok hitam, dan sarung kepada Imam Ali.

Imam Ali membalasnya dengan memberikan kaligrafi kalimat tauhid lengkap dengan terjemahannya dalam bahasa Mandarin.

Selanjutnya, Presiden mengikuti arahan imam dan pengurus masjid untuk menziarahi makam Syekh Ali bin Al Qadir Imaduddin Bukhori dan Syekh Al Burthoni Al Qazwayni, dua ulama penyebar Islam di Beijing yang meninggal tahun 1280-an.

Presiden, imam dan pengurus masjid berdoa sambil menengadahkan tangan di makam mereka, pusara berundak tanpa nisan di salah satu sudut kompleks Masjid Niujie.


Bertukar pandangan

Di ruangan pertemuan yang berada tak jauh dari makam, Presiden bertukar pandangan tentang Islam dengan Presiden Asosiasi Muslim Republik Rakyat China, Yang Faming.

Usai pertemuan tertutup sekitar 15 menit itu, Jokowi tampak sumringah.

"Saya sangat senang dan bahagia bahwa umat muslim Indonesia yang berada di Tiongkok ini sangat didukung dan diberikan ruang yang sangat baik oleh pemerintah Tiongkok," demikian kalimat pertama yang dia sampaikan kepada media.

"Tadi melalui Bapak Imam dan Bapak Ketua, saya sampaikan salam saya untuk umat Islam di Tiongkok," kata Presiden.

Dalam pertemuan itu, mereka antara lain menyingggung keterkaitan budaya dan perkembangan Islam di Indonesia dan China dari masa ke masa.

Sebagai pemimpin negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Presiden bangga mendengar informasi bahwa jumlah umat Islam di China sampai 23 juta orang.

Ia juga mengaku kaget saat mengetahui Kota Beijing memiliki 70 masjid dan ada sampai 23 ribu masjid di seluruh daratan Tiongkok.

"Terus terang saya baru tahu dan sangat kaget karena ini jumlah yang saya kira tidak sedikit," kata Presiden, yang dalam kesempatan itu juga menyalami beberapa warga negara Indonesia di Beijing.

Dalam pertemuan dengan Yang Faming dan jajaran pengurus Masjid Niujie, Presiden juga menyampaikan salam takzim kepada umat Islam di seluruh pelosok China daratan.


Seperti Gus Dur

Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur juga mengunjungi masjid yang dibangun pada masa Dinasti Liao (912-1125) itu di sela kunjungan kenegaraannya di China pada 3 Desember 1999.

Saat itu Gus Dur mendapatkan sambutan meriah dari warga setempat karena memang secara terang-terangan mengaku nenek moyangnya Tionghoa asli.

Gus Dur merupakan keturunan dari Tan A Lok, anak perempuan Putri Campa, salah satu selir Raja Majapahit, Brawijaya V. Tan A Lok menikah dengan Tan Kim Han, tokoh muslim Tionghoa abad ke-15 hingga ke-16.

Tan Kim Han ikut bersama Laksamana Cheng Ho (Zheng He), orang kepercayaan Kaisar Yongli yang merupakan kaisar ketiga Dinasti Ming, melakukan ekspedisi ke wilayah Nusantara pada 1907.

Peneliti berkebangsaan Prancis Louis Charles Damais belakangan menemukan makam Tan Kim Han yang memiliki nama lain Abdul Qodir Al Shini itu di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Pengakuan Gus Dur itu juga diperkuat oleh Presiden Asosiasi Muslim RRC Yang Faming yang menuturkan bahwa budaya muslim Indonesia-China terjalin sejak abad ke-15.

"Pada abad itu Muslim Tiongkok datang ke Indonesia untuk berdagang dan mereka mendarat di Jawa, seperti di Lasem (Jateng) dan tempat lain di Indonesia, di Palembang (Sumsel)," kata Jokowi setelah mendapatkan penjelasan dari Yang Faming.

Dan lewat kaca jendela mobil yang membawanya ke hotel di pusat Kota Beijing, Presiden bisa menyaksikan denyut kehidupan orang Islam di Niujie.

Oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017