Depok (ANTARA News) - Ketua lembaga riset keamanan Cyber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha mengatakan Badan Siber Nasional perlu segera dibentuk, karena serangan cyber yang masif semakin sering terjadi saat ini.
"Indonesia bisa melihat bagaimana mitigasi negara-negara yang sudah memiliki badan siber," katanya ketika ditemui di Depok, Senin.
Pratama mengatakan serangan Ransomware Wannacry yang menghebohkan dunia adalah peristiwa yang seharusnya membuka mata semua pihak bagaimana rentannya keamanan di wilayah siber.
Serangan Ransomware Wannacry yang terjadi sejak Jumat (12/5) diperkirakan 99 negara terkena dampak serangan ransomware ganas ini, termasuk Indonesia.
Serangan ransomware ini diketahui setelah beberapa rumah sakit terkemuka mengalami kendala teknis dalam sistem antriannya.
Menurut dia, Ransomware sebenarnya sangat banyak jenisnya dan sudah sejak lama menyerang sistem operasi, terutama sistem operasi Windows.
Yang membuat ransomware Wannacry menjadi "booming" karena ransomware ini menyerang menggunakan zero day exploit, yang belum pernah diketahui sebelumnya.
Artinya, lanjut dia saat pertama kali ransomware ini menyerang, sebenarnya Microsoft yang terupdate pun akan tetap terkena, karena Microsoft sendiri belum mengetahui adanya celah keamanan ini sampai dengan celah itu di publikasikan.
Mantan pejabat Lembaga Sandi Negara ini menjelaskan dengan demikian akan ada jeda waktu antara saat ransomware ini menyerang dengan waktu saat Microsoft mengetahui vulnerability ini dan melakukan patching terhadapnya. Eksploit yang digunakan sendiri dibocorkan oleh grup hacker "Shadow Broker".
"Tindakan preventif yang bisa dilakukan adalah selalu melakukan update serta backup data, merupakan hal yang wajib dilakukan agar terhindar dari malware, baik ransomware, virus, ataupun trojan. Update baik dari segi aplikasi, anti virus, dan OS yang digunakan," katanya.
Pratama menambahkan selanjutnya lakukan hardening terhadap sistem yang digunakan dan matikan service yang tidak diperlukan. Lalu hindari sembarangan mengklik link-link atau file yang dikirimkan oleh pihak yang tidak dikenal.
Sebuah ransomware sebagian besar akan menunjuk ke suatu link, yang kemudian meminta untuk men-download software.
Teknik lain yang dilakukan adalah dengan menyisipkan ransomware ke dalam file-file dokumen. Selalu periksa software-software dan dokumen-dokumen yang diunduh, pastikan pengirim merupakan pengirim yang benar-benar dikenal.
"Sebagian besar ransomware yang disisipkan ke dalam file dokumen, membutuhkan macro untuk mengeksekusi atau mengaktifkan ransomware. Secara default Microsoft sebenarnya men-nonaktifkan macros, namun demikian, banyak sekali pengguna yang tertipu mengaktifkan macros karena social engineering dari pembuat ransomware," katanya.
Pratama menambahkan bahwa admin IT di setiap instansi apapun harus segera lakukan update seluruh komputer ataupun server yang berada di jaringan. Lalu melakukan vulnerability scanning terhadap komputer-komputer jaringan.
"Jika ditemukan komputer yang mempunyai kelemahan segera lakukan mitigasi dengan memutusan koneksi dari komputer tersebut, dan sambungkan lagi setelah dilakukan patching atau update. Juga komputer yang terkena ransomware agar dipisahkan dari jaringan, agar tidak menyebar," jelasnya.
Pewarta: Feru Lantara
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017