Jakarta (ANTARA News) - KPK memperpanjang masa penahanan mantan Atase Imigrasi pada Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur Malaysia Dwi Widodo dalam penyidikan tindak pidana korupsi suap penerbitan paspor Republik Indonesia dan proses penerbitan "calling visa" 2013-2016.
"Tersangka Dwi Widodo (DW) kami lakukan perpanjangan penahanan untuk 40 hari ke depan terhitung mulai tanggal 11 Mei," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah menahan Dwi Widodo, di rumah tahanan (rutan) Guntur.
"Terkait penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi suap mencakup proses penerbitan paspor dengan metode "reach out" tahun 2016 dan proses penerbitan "calling visa"tahun 2013-2016 dilakukan penahanan tersangka DW (Dwi Widodo) untuk 20 hari ke depan. Penahanan dilakukan di rutan Guntur," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta, Jumat (21/4).
Dwi ditahan seusai menjalani pemeriksaan ketiga kalinya di KPK. Pengacara Dwi, Yans Jailani yang mendampingi pemeriksaan kliennya menolak menjelaskan lebih lanjut suap yang diterima oleh Dwi.
"Penerimaan itu sudah materi perkara karena kalau memang ada (penerimaan) kita tahu sendiri kan KPK punya alat bukti. Nanti mungkin akan disampaikan," kata Yans.
KPK menetapkan Dwi sebagai tersangka pada Februari 2017 lalu. Dwi diduga menerima suap Rp1 miliar dalam penerbitan paspor dengan metode "reach out" dan penerbitan "calling visa".
Dwi disangkakan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal itu mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah.
Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Modus yang dilakukan adalah meminta pihak agen perusahaan atau makelar untuk memberikan sejumlah uang atas pembuatan paspor bagi Warga Negara Indonesia (WNI) di Malaysia yang hilang atau rusak yang diterbitkan melalui metode "reach out" dan melakukan pungutan yang melebihi tarif resmi terkait penerbitan "calling visa".
Dwi juga diduga meminta kepada pihak agen yang menjadi kuasa atau penjamin warga negara asing (WNA) untuk mengirimkan sejumlah uang ke rekening pribadinya sebagai imbalan atas bantuan yang diberikannya.
Pungutan liar (pungli) berupa pembuatan paspor yang hilang atau rusak bagi WNI di Malaysia itu memiliki dua cara yaitu pertama melalui mekanisme biasa dimana pemohon paspor datang langsung ke KBRI pada hari dan jam kerja.
Kedua melalui mekanisme "reach out" yaitu pihak imigrasi KBRI yang mendatangi pemohon di lokasi yang beradai di luar KBRI. "Reach Out" ini dilakukan di luar hari dan jam kerja.
Perkara ini bermula dari inspeksi pelayanan publik yang dilakukan lembaga antikorupsi Malaysia (MACC) di Kuala Lumpur terkait layanan pembuatan paspor dengan cara "reach out" dan "calling visa".
Selanjutnya KPK menjalin kerja sama dengan MACC terkait perkara ini sejak 2016 sesuai kewenangan masing-masing.
MACC menangani perusahaan Malaysia selaku pemberi suap, sedangkan KPK menyidik Dwi selaku PPNS yang menjabat sebagai atase imigrasi.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017