Batam (ANTARA News) - Menristek Kusmayanto Kadiman mengimbau agar masyarakat menggeser pola makan dengan mengutamakan masakan yang direbus dibandingkan dengan digoreng, menyusul kenaikan harga minyak goreng yang mencapai Rp9.000 per kilogram. "Kenapa tidak kembali ke kebiasaan kita dulu yang lebih banyak (mengolah masakan dengan) direbus, dibanding digoreng," ujarnya, seusai menghadiri pemasangan tiang pancang pembangunan pabrik biodiesel PT Bakrie Rekin Bio Energy, di Kabil, Batam, Senin. Ia mengatakan penggeseran pola makan dan memasak makanan selain bisa mengurangi dampak kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri, juga dinilainya kebiasaan memakan masakan digoreng tidak sehat. Pemerintah, lanjut dia, tidak hanya melakukan imbauan, tapi juga mengupayakan adanya operasi pasar minyak goreng untuk menekan kenaikan harga di dalam negeri menyusul naiknya harga minyak sawit mentah (CPO) -- yang menjadi bahan baku minyak goreng -- di pasar internasional. "Jadi semua kita lakukan, (pasokan) minyak gorengnya kita tambah jumlahnya. Kemudian pola konsumsi makanan kita ubah menuju yang lebih sehat," ujar Kusmayanto. Ia mengatakan kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri tidak dapat dihindari karena permintaan CPO dunia meningkat, tidak hanya untuk bahan makanan, tapi juga pengembangan biofuel (bahan bakar nabati/BBN). Menurut dia, sejumlah negara yang lahap terhadap CPO baik untuk pangan maupun energi adalah Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China, dan India. Bahkan Uni Eropa, kata dia, tidak hanya membutuhkan CPO, tapi pasokan CPO menjadi semi wajib untuk pengembangan bahan bakar ramah lingkungan dan terbarukan. "Jadi memang lawan (pesaing) kita adalah pembeli di luar negeri yang kebutuhannya besar dan daya belinya luar biasa," ujar Kusmayanto. Ia juga tidak menampik kenaikan harga CPO dunia yang mempengaruhi kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri diakibatkan meningkatnya pemakaian CPO untuk biofuel. Kusmayanto menyatakan dukungannya terhadap pertumbuhan industri biodiesel di dalam negeri, karena selain bahan bakunya berasal dari lokal, pembangunan pabriknya pun sudah dikuasai. "PT Bakrie-Rekin Bio Energi misalnya menggunakan 70 persen komponen lokal dalam pembangunan industri biodieselnya yang dikembangkan Rekin (PT Rekayasa Industri)," katanya. Sedangkan sisanya 30 persen biaya investasi senilai sekitar 21 juta dolar AS digunakan untuk impor komponen yang belum bisa dibuat di dalam negeri dan penggunaan teknologi proses biofuel Desmet Ballestra dari Belgia dan Italia. PT Bakrie Rekin Bio Energy merupakan industri biodiesel dengan kapasitas 100 ribu ton per tahun yang merupakan usaha patungan PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk dengan BUMN PT Rekayasa Industri dengan komposisi saham 70:30 persen. (*)
Copyright © ANTARA 2007