Sleman (ANTARA News) - Handayani Putro (42) pelaku usaha mikro kecil menengah di Sambilegi Kidul, Maguwoharjo, Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta sukses menekuni kerajinan kulit untuk dipasarkan sendiri maupun untuk memenuhi permintaan "branding" ternama.
"Produksi kerajinan tas dan dompet kulit memang saya pasarkan melalui dua sistem, yakni dengan brand saya sendiri Mario Rubini serta untuk pesanan perusahaan lain dengan brand-brand yang telah ternama di Indonesia," kata Handayani Putro, Minggu.
Menurut dia, pihaknya mendirikan UD Tulen yang memproduksi kerajinan kulit dengan brand "Mario Rubini" ini sejak 2012.
"Awalnya belajar dari beberapa pengrajin kulit di Yogjakarta. Lalu memberanikan diri pinjam modal ke saudara untuk mendirikan usaha ini," katanya.
Ia mengatakan, nama Mario Rubini sendiri dipilih dengan sebuah alasan kuat. Mario merupakan nama ayah mertua sedangkan Rubini adalah nama ayah kandungnya. Dirinya ingin usaha ini menjadi berkah dengan mengingat jasa orangtuanya.
"Sebelunnya produk Mario Rubini ini mampu menembus pasar ekspor Australia dan Jepang. Sayangnya tahun ini kerja sama tersebut tidak berlanjut," katanya.
Menurut dia, pemesan asal Australia justru mendirikan pabrik sendiri. Tepatnya di kawasan Manding Bantul. Hanya saja usaha ini tidak berlanjut dan terpaksa tutup tidak beroperasi lagi.
"Setelah mereka mandiri, saya hilang kontak. Meski begitu produk-produk produksi UD Tulen sudah menghiasi mal-mal di Yogyakarta dan kota besar lainnya," katanya.
Handayani mengatakan, khusus untuk produk-produk di mal justru tidak mengusung merk Mario Rubini. Produk tersebut adalah pesanan dari pemilik brand-brand ternama.
"Kecuali brand, seluruh desain dan pengerjaan dilakukan UD Tulen. Ada semacam kerja sama. Dimana desain produk dari kami sendiri. Tujuannya untuk menjaga kualitas dari desain menjadi produk jadi. Jadi pakai brand pemesan, sesuai keinginan masing-masing. Produk fashion dengan bahan baku kulit asli," katanya.
Sebagai produksi rumahan, omset penjualan diakuinya belum terlalu besar. Dalam sebulan dirinya bisa menjual lebih dari 100 buah produk. Berbanding dengan jumlah karyawan yang hanya lima orang.
Dengan kualitas premium, harga yang ditawarkan cenderung terjangkau, untuk sebuah dompet kulit dibanderol Rp100 ribu dan Rp400 ribu untuk sebuah tas kecil.
"Selain personal, pesanan juga datang dari berbagai perusahaan besar di Indonesia," katanya.
Putro mengatakan, pentingnya mengurus Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bagi UMKM. Terkait kepercayaan konsumen dan juga legalitas merk. Terlebih saat ini persaingan UMKM juga merambah tingkat internasional.
"Untuk jaga-jaga juga kalau ada yang meniru produk kita. Pelaku UMKM haruslah sadar mengurus HAKI, apalagi kalau merambah pasar ekspor," katanya.
Ia mengatakan, produk kulit lokal sangat menjanjikan. Dari segi bahan baku, Indonesia melimpah. Produknya sendiri mendatangkan kulit dari Magetan Jawa Timur dan dari Bantul.
"Sayangnya harga bahan baku terus merangkak naik. Hal ini tentu berimbas pada harga jual produk jadi. Untungnya dari segi pasar konsumen, produk kami telah memiliki market tersendiri. Tidak mungkin menaikan terlalu tinggi. Persaingan cukup tinggi di pasaran. Tapi kami mengandalkan kualitas premium," katanya.
Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017