"Mereka berhak untuk mengikuti program kami, salah satunya pemberdayaan ekonomi melalui pelatihan-pelatihan," kata Kepala Dinas Pengendalian Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A) Kota Surabaya Nanis Chairani di Surabaya, Jumat.
Menurut dia, warga yang tinggal di kawasan eks lokalisasi memiliki hak yang sama dengan warga yang tinggal di wilayah lainnya (luar lokalisasi) dalam hal mendapatkan perhatian dari Pemkot Surabaya.
Berdasarkan data di Dinas P5A, selama rentang 2013 hingga 2016 sudah ada 2150 warga dati tiga kawasan terdampak penutupan lokalisasi yang telah mengikuti pelatihan. Rinciannya, di kawasan eks lokalisasi Sememi Klakahrejo ada 275 orang, Dupak Bangunsari ada 750 orang dan Dolly di Putat Jaya ada 1.125 orang.
"Dari jumlah tersebut, sebanyak 50 persen hingga kini masih eksis usahanya. Yang paling menonjol adalah warga dari Dolly seperti usaha makanan, kaos, dan tempe," ujar Nanis.
Padahal, kata Nanis, sebelum penutupan lokalisasi, warga di kawasan Dolly kurang berminat menyambut tawaran pelatihan yang diberikan Pemkot Surabaya. Kala itu, warga di sana lebih berminat untuk menggeluti usaha yang berkaitan dengan praktik lokalisasi seperti menjadi juru parkir, membuka warung ataupun laundry karena merasa bisa mendapatkan uang dengan cara mudah. Sementara, ada banyak warga di luar Putat Jaya yang sudah mengikuti pelatihan.
Setelah penutupan dan dilakukan pendekatan dan dorongan dari Dinas P5A, barulah warga di Putat Jaya tergerak untuk mengikuti pelatihan. Mereka diubah pola pikirnya agar mau untuk menjadi lebih berdaya dengan keahlihan yang mereka miliki melalui usaha.
Selain itu, lanjut dia, Pemkot juga dibantu oleh dunia usaha yang memberikan Corporate Social Resposibility (CSR). Dalam perjalanannya, warga di Putat Jaya ternyata lebih cepat dalam menyerap wawasan keahlihan yang diberikan personel dari Dinas P5A.
"Contohnya untuk membatik. Sebelumnya kami memberikan pelatihan membatik di beberapa kelurahan. Nah, di Putat Jaya, mereka sangat cepat menguasainya lebih dari mereka yang sudah belajar lebih dulu. Goresan, desain dan warna batik yang mereka hasilkan sangat bagus. Harganya pun fantastis, selembar bisa Rp10 juta. Sementara lainnya masih di kisaran ratusan ribu," ujarnya.
Tidak hanya berupa pelatihan, kata dia, Pemkot juga melakukan pendampingan agar warga jadi lebih berdaya secara ekonomi, misalnya yang sudah berproduksi, dibantu untuk pemasaran produknya.
Pemkot punya etalase untuk pemasaran produk seperti di Balai Kota Surabaya, Terminal Purabaya, Royal Plaza dan juga di sentra UKM Dinas Perdagangan dan Perindustrian.
"Kami juga mengikutkan mereka ke pameran di luar kota maupun di luar pulau. Tentunya kami seleksi produk yang memang terbaik. Bagi yang belum bagus terus kami dorong," kata Nanis.
Hingga kini, kata dia, Pemkot Surabaya terus melanjutkan pendampingan dengan cara diarahkan untuk bergabung dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dilakukan Pemkot Surabaya yakni Pahlawan Ekonomi yang lebih diarahkan untuk ibu rumah tangga dan Pejuang Muda bagi mereka yang berusia lebih muda.
"Bagi warga yang berminat mengikuti pelatihan usaha, bisa datang langsung ke Kaza (Kapas Krampung Plaza) pada setiap akhir pekan," ujarnya.
Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017