Sejak sepuluh tahun silam Umbu Harun (54), ayah dua anak, mencari nafkah dengan beternak kuda Sumba, yang secara khusus digunakan untuk lomba pacuan kuda.
Ditemui di rumahnya di Watumbaka, Waingapu, Nusa Tenggara Timur (NTT), pria asal Manggarai Timur, Flores itu mengatakan, beternak kuda pacuan pada dasarnya bukan semata-mata karena motif mencari keuntungan finansial tapi juga kesenangan atau hobi.
Kini Umbu punya enam ekor kuda pacuan, yang diternak dengan membeli bibit atau kuda anakan yang masih berusia enam bulan. Di usia itu, katanya, seekor anak kuda sudah bisa dipisahkan dari induk yang menyusuinya.
Dua ekor dipelihara sendiri sedangkan yang empat ekor dipelihara dan dirawat di rumah mertuanya, yang merupakan warga Waingapu.
"Saya membeli kuda anakan itu seharga Rp25 juta. Kalau bukan keturunan kuda pacuan, harganya bisa lebih murah," tuturnya.
Salah satu kuda ternak itu kini berusia dua tahun. Jika dijual, harganya bisa mencapai Rp50 juta. Harga kuda pacuan yang unggul bisa mencapai ratusan juta rupiah. Semakin tenar namanya, semakin mahal harganya.
Ketenaran itu diperoleh lewat seringnya meraih kejuaraan dalam lomba pacuan kuda, yang di Waingapu di selenggarakan setahun tiga kali, di arena pacuan kuda Prailiu, Waingapu.
Tiap kuda pacuan diberi nama oleh pemiliknya. Di Sumba, kuda pacuan sekarang umumnya berjenis kelamin betina. "Kuda betina berlari lebih kencang daripada yang jantan. Kebanyakan pemenang lomba adalah kuda betina," kata Umbu.
Salah satu kuda betina milik Umbu diberi nama Bossi, yang berusia lima tahun. Pernah memenangkan sejumlah lomba baik yang diselenggarakan di Waingapu, yang masuk kawasan Sumba Timur, maupun di luar Waingapu, seperti Waikelo, Sumba Barat.
Waktu bertanding di Waikelo, Bossi meraih juara I dengan hadiah senilai Rp13 juta. Ketika berlomba di arena pacuan kuda Prailiu, Waingapu, beberapa waktu lalu, Bossi meraih juara II dan mendapat hadiah seniai Rp7 juta.
Dari hadia-hadiah kemenangan lomba pacuan inilah peternak kuda Sumba memperoleh penghasilan tambahan. Untuk mengikuti lomba, pemilik kuda pacuan dikenakan biaya senilai Rp200.000,-
Biaya perawatan kuda pacuan tidak murah. Untuk menjaga kesehatan kuda agar tetap prima, pemilik perlu memberinya makanan berkualitas. Di samping menyediakan rerumputan yang mudah diperoleh di tanah Sumba, yang sebagian besar wilayahnya berupa savannah alias padang rumput luas, pemilik perlu memberinya pakan kuda yang diproduksi pabrik, sebulan bisa menghabiskan sekitar Rp500.000,-.
Kuda pacuan, tak ubahnya atlet pelari atau pemain bola, perlu berlatih fisik dan teknik secara rutin. Dalam berlatih, kuda pacuan juga perlu pelatih.
Alan Donggalandupraeng (18), pelatih kuda pacuan, mengatakan ada berbagai cara melatih kecepatan lari kuda pacuan.
"Latihan itu bisa berupa berlari di pantai berpasir, berlari di lumpur, di jalanan menanjak," kata remaja pemilik berat badan 60 kg itu.
Ketika berlatih, kuda pacuan diberi tantangan medan yang jauh lebih berat ketimbang medan datar saat berpacu di arena perlombaan. Begitu juga dengan berat badan penunggangnya. Saat kuda berlomba, berat badan joki yang menunggangi kuda itu harus lebih ringan dari berat badan pelatih.
Kuda pacuan tak dibebaskan berkeliaran. Harus diikat. "Jika dibiarkan bebas, kuda itu bisa kawin dengan kuda yang bebas berkeliaran," kata Umbu.
Jika kuda pacuan kawin dan bunting lalu melahirkan, akselerasi atau laju larinya akan menurun dibandingkan dengan pesaingnya yang masih belum pernah melahirkan anak.
Peternak kuda pacuan tak selalu membeli bibit berupa kuda anakan. Sebagian peternak mengembangkan usahanya dengan memelihara kuda betina dan mengawinkannya dengan kuda jantan unggulan, yang punya reputasi sebagai kuda pacuan.
Biaya pengawinan itu bisa mencapai Rp5 juta. Biasanya kuda jantan cukup tiga kali mengawini betinanya untuk berhasil membuahi sel telur betina.
Jadi ada juga peternbak yang bisnisnya menawarkan jasa pengawinan kuda jantan unggulan.
Dalam mempertahankan kebugaran, kuda pacuan juga perlu diberi vitamin, minuman gula aren dicampur madu dan susu. Lebih-lebih menjelang perlombaan, stamina kuda pacuan harus dipertahankan dengan perawatan yang ketat.
Setiap sehabis berlatih fisik, kuda harus dimandikan dengan direndam di sungai. "Harus berendam, bukan hanya disiram. Tanpa direndam, nafsu makan kuda bisa menurun dan akibatnya tak bertenaga saat berlomba," kata Umbu.
Jika air sungai sedang surut seperti saat kemarau, kuda harus direndam di laut. Peternak kuda pacuan di Waingapu tak sulit mencari lokasi pantai untuk medan berlatih kuda dan merendam kuda di laut sehabis berlatih.
Kondisi geografis yang berpadang rumput luas dan kedekatan pantai dari permukiman penduduk menjadikan usaha beternak kuda di Sumba cukup prospektif.
Menurut Kepala Sub Bagian Perencanaan dan Evaluasi Dinas Peternakan Sumba Timur Nurchayo, jumlah peternak kuda di kawasan Sumba Timur ini ribuan dan tersebar di berbagai wilayah. Jumlah kuda yang diternak mencapai sekitar 32.300 ekor.
Jumlah kuda yang diternak itu sebagian besar akan dikirim ke luar Sumba sebagai komoditas perdagangan antarwilayah.
Tentang jumlah kuda ternak yang khusus untuk pacuan, Dinas Peternakan Sumba Timur tak memiliki data secara pasti. Tapi rasionya bisa diprediksi lebih kecil dibandingkan dengan kuda untuk keperluan penghela kereta atau kuda tunggangan di temapat-tempat wisata.
Sebagian kuda hasil ternak itu juga dijual kepada orang-orang kaya dari luar Sumba yang hobi berkuda. Politisi Gerindra Parabowo Subianto, yang punya hobi olahraga berkuda, beberapa kali datang ke Waingapu untuk mencari kuda tunggangan.
Sebelum jalan-jalan di Sumba diaspal, dan kendaraan bermotor merajalela seperti sekarang, kuda menjadi alat transportasi utama.
Saat ini di Sumba Timur masih dapat ditemui di beberapa wilayah orang berkuda di jalan atau perbukitan, namun jumlahnya sangat minim dan jarang.
Beternak kuda, menurut pejabat di Dinas Peternakan Waingapu itu, masih akan tetap menjanjikan karena banyak kawasan wisata di Tanah Air yang perlu kuda tunggangan maupun kuda untuk menghela kereta beroda dua.
Dengan masih beroperasinya kereta kuda di sejumlah kawasan wisata, anak-anak pun bisa merasakan sebuah pengalaman indah riang gembira seperti yang dilantunkan dalam tembang abadi gubahan ibu Sud: "Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota/ Naik delman istimewa kududuk di muka..."
Di Sumba, hingga kini, kuda juga menjadi mahar utama, atau belis menurut istilah khas penduduk setempat.
Di lingkungan keluarga aristokrat Sumba, seorang putri yang dipinang oleh calon suami, biasanya menetapkan belis tak kurang dari 50 ekor kuda.
Jika satu kuda dewasa (bukan jenis kuda pacuan) itu seharga antara Rp20 juta dan Rp30 juta, bisa dibayangkan betapa tinggi nilai belis itu.
Itu sebabnya, bisnis beternak kuda tak akan pernah sepi dari permintaan pasar.
Oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017