"Pada era demokratis seperti saat ini, mekanisme yang lebih efektif adalah pengawasan oleh masyarakat sendiri. Bila ada ceramah keagamaan yang mengandung ujaran kebencian, laporkan ke aparat hukum," kata Dahnil dihubungi di Jakarta, Rabu.
Menurut Dahnil, aparat hukum dapat melakukan pengawasan. Namun, bila pengawasan dilakukan aparat hukum, dia khawatir akan terjadi tindakan represif dan mengancam demokrasi.
"Era demokrasi tidak seperti Orde Baru yang semua diawasi," tuturnya.
Dahnil sepakat bila ujaran kebencian yang disampaikan ceramah di tempat ibadah diproses secara hukum karena hukum sudah mengatur demikian.
Tentang imbauan Menteri Agama, Dahnil memandang tidak ada masalah karena hanya bersifat imbauan. Namun, karena tidak diformalkan, hanya sebatas imbauan, maka semua pihak perlu mengawasi pelaksanaannya.
"Tentu siapa saja boleh mengimbau selama itu untuk kebaikan," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengeluarkan seruan yang berisi sembilan imbauan tentang ceramah di tempat ibadah.
Inti dari sembilan imbauan itu adalah ceramah harus disampaikan dengan bahasa yang baik dan santun oleh penceramah yang memiliki pemahaman tujuan agama diturunkan dengan pengetahuan yang memadai.
Ceramah di tempat ibadah harus mendidik dan mencerahkan serta tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika serta tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan.
Kemudian, ceramah harus tunduk pada ketentuan hukum serta tidak boleh bermuatan penghinaan, penodaan, pelecehan, provokasi, diskriminasi, intimidasi, anarki dan destruktif serta kampanye politik praktis dan promosi bisnis.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017