Banda Aceh (ANTARA News) - Sedikit-dikitnya 266.000 hektare hutan di Provinsi Aceh selama selama 2005 hingga 2006 mengalami kerusakan berat sebagai akibat proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami yang tidak mempunyai standar legalitas penggunaan kayu. Deputi Komunikasi Fauna Flora Indonesia (FFI), Tisna Nando, di Banda Aceh, Senin, menyatakan, selama 2005, aparat berwajib berhasil menyita kayu olahan hasil pembalakan kayu liar (illegal logging) sebanyak 33.249,25 meter kubik. Ia mengemukakan, hutan Aceh sebelumnya memiliki luas 3.549.813,00 ha dan sebagian besar komposisinya terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan bagian selatan hutan Ulu Masen yang memenuhi daratan Aceh bagian utara. Dikatakannya, angka laju deforestasi , setiap tahunnya mengalami peningkatan, karena adanya aktivitas illegal loging untuk pemenuhan kebutuhan kayu rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, yang pada tahun 2006 mengalami kenaikan hingga empat kali lipat atau 120.209,50 meter kubik. Saat ini kawasan hutan Ulu Masen mempunyai luas sekitar 740.000 Ha, yang meliputi lima kabupaten di Aceh, yakni Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya. Hingga saat ini hutan tersebut telah tersentuh HPH sekitar 20 persen. "Dari luas total hutan secara keseluruhan, sekitar 20 persen atau 740.000 hektare, telah dimanfaatkan HPH," katanya. FFI bersama masyarakat Aceh Jaya, mencoba untuk melakukan pelestarian hutan Ulu Masen, untuk menjaga kesinambungan jasa lingkungan (ecosystem service). Ia menambahkan, saat ini hutan Ulu Masen, telah berfungsi menyediakan air yang dimanfaatkan oleh sekitar tiga juta jiwa anggota masyarakat Aceh. Selain itu juga telah berfungsi sebagai pencegah banjir dan erosi, penyerap karbon dan juga penyedia sarana ekowisata serta sumber ilmu pengetahuan.Sementara itu, Pemerintah Aceh belum menetapkan berapa lama waktu yang diberlakukan terhadap penghentian sementara atau moratorium logging atau jeda tebang hutan di provinsi yang sejak Januari 2007 tidak lagi penerbitkan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Ir. Hanifah Affan, mengatakan bahwa belum mengetahui berapa lama jeda tebang itu berlaku. Selama moratorium logging, jelasnya, Pemda Aceh akan menata kembali dan merehabilitasi kawasan hutan serta meningkatkan penegakan hukum terhadap penebangan kayu. "Pada masa itu, semua penebangan dinyatakan illegal," jelasnya. Menurut Hanifah , terhadap perusahaan-perusahaan yang izin tebangnya masih berlaku akan ditinjau kembali. Akan tetapi, perusahaan pemegang izin tersebut bukan HPH. "Sejak Januari 2007 tidak ada lagi penerbitan izin HPH di Aceh, apalagi melayani permohonan izin penebangan hutan," tegasnya. Kata Hanifah, sebelumnya pemegang HPH mencapai 25 perusahaan dan menyusut menjadi 11 perusahaan tersebar di seluruh Aceh. Ia menambahkan, dalam fase moratorium akan diorientasikan mengenai prioritas lokasi reboisasi serta merintis kawasan hutan rakyat guna memenuhi persediaan kayu dalam skala kecil. Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Chalid Muhammad, menyarankan kebijakan moratorium logging Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dapat dilakukan selama 15 tahun, karena apabila diberlakukan di bawah lima tahun tidak akan berdampak pada kerusakan hutan. "Pemulihan hutan perlu waktu lama dan berkelanjutan. Jangan ganti kepala daerah berubah pula kebijakan, sehingga memperparah kerusakan hutan. Jika tidak, kebijakan moratorium logging itu akan sia-sia," ujar Chalid. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007