Jakarta (ANTARA News) - Meski rapat paripurna DPR menyetujui penggunaan hak angket terkait pelaksanaan tugas KPK, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menegaskan bahwa lembaganya tetap fokus melanjutkan pengusutan kasus-kasus korupsi termasuk perkara KTP-ELektronik (KTP-E).
"Kemungkinan tindakan hukum lain akan kami bicarakan lebih lanjut di KPK. Namun yang pasti, kami tetap akan fokus pada penanganan kasus-kasus korupsi, termasuk E-KTP dan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang sekarang sedang berjalan," kata Laode saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Pada hari ini Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dalam rapat paripurna DPR menyetujui penggunaan hak angket terkait pelaksanaan tugas KPK seperti diatur dalam UU No 30 tahun 2002 tentang KPK meski ada tiga fraksi yang menolak yaitu Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Demokrat dan Fraksi PKB.
(Baca: DPR setuju gunakan hak angket KPK)
"Kami mendengar palu tentang hak angket sudah diketok di paripurna DPR, namun terdapat penolakan dari sejumlah anggota DPR dan bahkan ada fraksi yang walk-out. Apakah hal itu berkonsekuensi terhadap sah atau tidaknya keputusan Hak Angket tsb, akan kami pelajari terlebih dahulu," tambah Laode.
Namun ia mengaku tidak ingin mencampuri aktivitas politik yang dilakukan oleh partai di DPR.
"KPK tidak akan mencampuri urusan partai tapi berharap bahwa partai politik memahami sikap KPK yang tidak mau memperlihatkan rekaman dan BAP," ungkap Laode.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel namanya.
"Apalagi sejumlah fraksi sudah mengatakan menolak hak angket dan ada syarat di UU MD3, bahwa usul menjadi Hak Angket jika dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengn persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir," ungkap Laode.
Laode kembali mengingatkan bahwa usulan hak angket diawali dari kesaksian Novel Baswedan di persidangan dan dan penolakan KPK untuk membuka rekaman pemeriksaan BAP Miryam.
"Jika bukti-bukti dibuka hal itu berisiko akan menghambat proses hukum dan dapat berdampak pada penanganan kasus e-KTP. Segala upaya yg dapat menghambat penanganan kasus korupsi, termasuk e- KTP dan kasus keterangan tidak benar di pengadilan tentu saja akan ditolak KPK," tegas Laode.
Sedangkan peneliti ICW Lalola Easter mengatakan bahwa tindakan Fahri Hamzah illegal dan sewenang-wenang (abuse of power).
"Tindakan wakil ketua DPR yang memutuskan sepihak tanpa adanya persetujuan anggota, merupakan tindakan ilegal dan sewenang-wenang. Lebih lanjut lagi, tindakan ini merendahkan hak masing-masing anggota DPR untuk memberikan sikap atas pengajuan hak angket tersebut. Kewenangan pengambilan keputusan bukanlah hak pimpinan, melainkan pada anggota," kata Lalola.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017