London (ANTARA News) - Sedikitnya satu miliar orang menghadapi risiko kehilangan tempat tinggal mereka selama empat dasawarsa mendatang akibat konflik dan bencana alam yang akan bertambah parah dengan pemanasan global (global warming), demikian peringatan sebuah badan bantuan, Senin. Dalam laporannya, Christian Aid, yang berpusat di Inggris, menyatakan negara di seluruh dunia, terutama negara paling miskin, sekarang menghadapi perpindahan penduduk terbesar karena terpaksa -- kondisi yang akan membuat pengungsian akibat Perang Dunia II jadi tak berarti. Dalam apa yang saat itu menjadi "pengungsian penduduk terbesar dalam sejarah modern", katanya, 66 juta orang kehilangan tempat tinggal di seluruh Eropa sampai Mei 1945, selain beberapa juta orang lagi di China. Kini, sebanyak 163 juta orang di seluruh dunia telah kehilangan tempat tinggal akibat berbagai faktor seperti konflik, kemarau dan banjir serta proyek pembangunan ekonomi seperti bendungan, pembalakan dan perkebunan gandum, katanya. "Kami percaya bahwa migrasi terpaksa sekarang menjadi ancaman paling mendesak yang dihadapi rakyat miskin di dunia berkembang," kata John Davison, penulis "Human Tide: the real migration crisis". Meskipun jumlah tersebut sudah "sangat tinggi", laporan tersebut memperingatkan bahwa "pada masa depan, perubahan iklim akan mendorongnya jadi lebih banyak lagi". "Kami memperkirakan bahwa selama beberapa tahun antara sekarang dan 2050, sebanyak satu miliar orang akan kehilangan tempat tinggal mereka", demikian antara lain isi laporan setebal 52 halaman itu, seperti dikutip AFP. Jumlah tersebut meliputi 645 juta orang yang bermigrasi akibat proyek pembangunan, dan 250 juta orang karena fenomena seperti pemanasan global seperti banjir, kemarau dan kelaparan, katanya. Konflik di wilayah Darfur, Sudan barat, yang telah membuat lebih dari dua juta orang kehilangan tempat tinggal, katanya, bukan hanya dipicu oleh kekuatan politik tapi juga disebabkan oleh persaingan untuk memperoleh lahan untuk menggembalakan ternak serta air, yang kian langka. "Para ahli keamanan khawatir bahwa migrasi baru ini akan menyulut konflik yang tak pernah terjadi sebelumnya dan memicu masalah baru di berbagai daerah di dunia --terutama di negara paling miskin -- tempat sumber daya alam paling langka," kata satu pernyataan yang menyertai laporan itu. "Satu dunia dengan banyak Darfur kian menjadi mimpi buruk," katanya. Masalahnya makin mengkhawatirkan sementara mereka yang kehilangan tempat tinggal di negara mereka sendiri tak memiliki hak berdasarkan hukum internasional dan tak mempunyai suara resmi, katanya. Laporan tersebut juga mengutip kajian kasus di Kolombia, Mali dan Myanmar, yang dulu bernama Burma, sebagai kasus utama keprihatinan. Sementara jutaan orang telah menyelamatkan diri dari perang saudara antara kelompok paramiliter dan gerilyawan dalam 20 tahun terakhir, katanya, rakyat Kolombia sekarang menyaksikan banyak lahan diambil oleh anggota paramiliter yang berubah jadi pengusaha dan membuat kebun kelapa sawit serta kebun lain. Di Myanmar, katanya, kelompok etnik minoritas seperti Karen telah menderita akibat beberapa dasawarsa kerusuhan, pengungsian dan penghukuman hanya untuk menyaksikan penguasa militer sekarang menggunakan lahan yang dibersihkan untuk membuat bendungan, pembalakan dan kebun kelapa sawit. Perubahan cuaca, katanya, akan mendorong pertumbuhan perkebunan penghasil gandum sementara negara kaya meningkatkan permintaan akan bahan bakar bio dalam upaya mengurangi buangan karbon dioksida ke atmosfir. "Di Mali, ancaman akibat perubahan iklim lebih membayang lagi," katanya. Hasil pertanian telah merosot tajam sementara curah hujan berkurang dan tak beraturan, sehingga petani terpaksa meninggalkan lahan mereka agar mereka dapat menghidupi keluarga mereka. Christian Aid, yang dibentuk untuk membantu pengungsi akibat Perang Dunia II, menyiarkan laporan tersebut untuk memperingati 50 tahun pengumpulan dana dari rumah-ke-rumah di Inggris. Badan itu berharap dapat mengumpulkan 15,5 juta poundsterling (22,72 juta euro, atau 30,7 juta dolar AS). (*)

Copyright © ANTARA 2007