Jakarta (ANTARA News) – Berbagai media massa dunia sibuk membahas perkembangan terkini di Semenanjung Korea yang memanas sejalan kekerasan hati pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, yang berkeras mengujicobakan peluru kendali berkepala nuklir mereka.


China, sebagai negara sekutu terdekat Korea Utara, juga sudah mengeluarkan berbagai cara untuk membujuk Pyongyang. Cara politis-diplomatis sudah dilaksanakan bahkan juga cara ekonomi, yaitu menghentikan impor batu bara dari Korea Utara.


Namun ini juga belum menunjukkan hasil berarti.


Amerika Serikat sebagai sekutu Korea Selatan dan Jepang sejak dua tahun lalu mengirim sinyal akan menggelar “perisai udara” bernama THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) yang pola penggelarannya mirip dengan Iron Dome di Israel, negara yang juga rawan atas serbuan kekuatan bersenjata asing ataupun perang asimetrik.


Di dalam negeri Korea Selatan, THAAD diharapkan namun juga dicemaskan, bahwa THAAD akan menjadikan negara itu sebagai sasaran dari negara-negara yang terusik dengan sistem peluru kendali anti peluru kendali itu.


China yang disebut-sebut ada di peringkat ketiga kekuatan militer dunia sejak awal keberatan atas kesediaan Korea Selatan menjadikan negerinya sebagai pangkalan THAAD.


THAAD, baru masuk dalam daftar arsenal Amerika Serikat pada 2008 dengan tugas utama sebagai pemunah akhir peluru kendali lawan dan meluncur dan masuk pada tahap akhirnya (terminal) ke wilayah udara kawan.


Prinsip serupa juga terjadi pada sistem anti peluru kendali berbasis radar dan perangkat perang elektronika besutan Raytheon, MIM-104 PAC-3 Patriot. Jepang memiliki sistem arsenal ini dan kini diarahkan ke Korea Utara.


Disarikan dari berbagai sumber, ada yang mengatakan menggelar MM-104 PAC-3 Patriot dan THAAD yang dirancang Lockheed-Martin untuk menghadapi Korea Utara adalah kesia-siaan karena Korea Utara akan lebih mengandalkan peluru kendali berjarak pendek mereka (di antaranya No Bong dan Toksa)


Menjawab pernyataan itu, Lockheed Martin dalam lamannya menjawab bahwa THAAD justru dirancang-bangun untuk memberi kemampuan kritis mengatasi ancaman “hujan” peluru kendali berbagai kelas, mulai dari jarak pendek (kurang dari 300 km) hinga antar benua alias ICBM atau malah SLBM yang diluncurkan dari kapal selam lawan. 


THAAD menurut mereka, bisa beroperasi secara kompatibel dengan sistem serupa lain –katakanlah Iron Dome atau MIM-104 PAC-3 Patriot— dan mempertahankan suatu wilayah pemukiman dalam skala luas, serta dapat dipindah-pindahkan ke mana saja.


THAAD juga disebut bisa bahu-membahu (interoprabilitas) dengan sistem Aegis yang dikembangkan secara terpisah oleh Angkatan Laut Amerika Serikat. 


Prinsip kerja dasar THAAD ini adalah radar yang berada terpisah dari silo (tabung) penyimpan peluru kendali mendeteksi jalur tempuh peluru kendali lawan. Dari situ, radar dan sistem penentu serta data intelijen yang dipadukan dengan perangkat perang elektronika lalu mengidentifikasi jenis, tipe, dan data teknis lain peluru kendali itu.


Lalu operator di dalam kapsul komando utama meluncurkan peluru kendali THAAD dari silo-silonya untuk mengintersepsi peluru kendali itu. Dengan kecepatan lebih dari 8 Mach (kecepatan suara), peluru kendali dari silo sistem THAAD menerjang peluru kendali lawan dan menghancurkannya di udara. Energi kinetik yang ditimbulkan dari kecepatan 8 Mach itu sangat luar biasa.


Secara teknis, kunci penting THAAD terletak pada sistem radarnya yang bekerja pada frekuensi X-Band dan berbasis teknologi AESA (active electronically scanned array) AN/TPY-2 (Army Navy/Transportable Radar Surveillance). Amerika Serikat sebagai negara pemilik teknologi mengadopsi dan merekayasa ulang teknologi radar AESA pada pesawat tempur generasi terkini ke dalam sistem THAAD ini. 


Ini juga yang memberi kemampuan deteksi ancaman THAAD ada pada tingkat sangat tinggi. Sejauh ini Amerika Serikat diketahui menggelar datu baterai (istilah satuan tempur dalam Korps Artileri Pertahanan Udara) THAAD di Guam, dua unit radar AN/TPY-2 di Pulau Shariki dan Pulau Kyogamisaki, Jepang, dan titik-titik lain.




AN/TPY-2 keluaran Raytheon secara sistem terdiri dari dua mode, pertama pada mode forward base pada fase pengamatan, untuk mendeteksi peluru kendali yang sedang mengangkasa.


Yang kedua mode terminal untuk memandu interceptor menghancurkan peluru kendali lawan yang dalam trayektori menurun. Fase inilah yang sangat kritis untuk menyuplai informasi memadai ke pusat komando jaringan manajemen kendali pertempuran melalui komunikasi elektronik dienkripsi pada radius 1.000 kilometer.


Sistem radar AN/TPY2 ini mengandalkan catu daya sebanyak 2,1 MegaWatt untuk menggerakkan sistem deteksi dan komunikasi elektronika yang dia punya. 


Akan tetapi, untuk menggelar AN/TPY2 ini memerlukan upaya tersendiri karena dimensi dan kompleksitas subsistemnya. Itu meliputi antena phased array dengan 72 modul transceiver, unit pembangkit listrik, unit pendingin sistem, modul kontrol dan kendali, operasi, perawatan-pemeliharaan, dan monitor komunikasi.


Masih ditambah dengan unit kendali radar dan perlengkapan proses signal dan data. Untuk bisa berkomunikasi dengan subsistem database berbasis datalink yang dirahasiakan rancang-bangunnya.


Di Semenanjung Korea, China risih jika THAAD digelar di Korea Selatan dan dinyatakan hal itu bisa merusak stabilitas kawasan. Jika jadi digelar di Korea Selatan --dalam waktu tidak terlalu lama lagi-- maka Amerika Serikat akan dapat memobitor langsung peluru kendali antar benua China.


Ada anggapan bahwa di mata China, jelas ini ancaman serius yang harus dihalau, padahal dengan tujuan sama THAAD di Jepang juga bisa melakukan hal itu.


Dari sisi “amunisi” yang dilontarkan, data menyatakan bahwa dimensi peluru kendali itu sepanjang 6,17 meter dengan bobot 900 kilogram dan diameter hanya 34 sentimeter. Bisa dibayangkan betapa lancip amunisi dengan sistem pemandu berbasis pencitraan indium antimonide infra merah itu.


Dia berjarak jangkau pendek saja, 200 kilometer namun kecepatan lesatnya menjadi kekuatan yang belum bisa ditandingi dan menjadi jawaban atas peluru kendali andalan China, WU-14.



Media massa internasional menyebut bahwa bagian-bagian sistem THAAD mulai digeser ke Korea Selatan, yang dikatakan baru paripurna beberapa bulan lagi. Memang benar, karena untuk memindahkan seluruh unit AN/TPY2 saja, memerlukan lima sortie pada pesawat angkut berat C-17 Galaxy.


Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017