Brussels (ANTARA News) - Turki akan menutup pintu untuk bergabung dengan Uni Eropa jika mengadopsi perubahan konstitusional yang didukung dalam sebuah referendum pekan lalu, kata anggota parlemen Uni Eropa yang bertanggung jawab atas kesepakatan dengan Ankara pada Rabu.
Komentar Kati Piri muncul sehari setelah Presiden Tayyip Erdogan mengatakan bahwa Turki tidak akan menunggu di pintu Eropa selamanya dan dapat meninggalkan perundingan aksesi Uni Eropa jika terjadi peningkatan Islamofobia dan tetap adanya permusuhan dari beberapa negara anggota.
Anggota parlemen kiri-tengah Belanda, yang merupakan "pelapor" mengenai Turki, itu mengatakan kepada wartawan menjelang debat paripurna tentang Turki bahwa jika Erdogan mendorong semua perubahan, yang akan menambah kekuasaannya, maka Uni Eropa harus secara resmi menunda perundingan tentang keanggotaan yang telah lama tertunda itu.
"Karena Turki dengan konstitusi semacam itu tidak dapat menjadi anggota Uni Eropa, juga tidak masuk akal untuk melanjutkan pembahasan mengenai aksesi," kata Piri, mengulang pernyataan sejumlah tokoh terkemuka lainnya di legislatif, yang tahun lalu mengeluarkan sebuah resolusi yang tidak mengikat yang menyerukan penghentian proses.
Pada Senin, komisaris eksekutif Uni Eropa yang bertanggung jawab atas aplikasi keanggotaan, Johannes Hahn, meminta menteri luar negeri Uni Eropa untuk mempertimbangkan mengakhiri proses aksesi Turki saat mereka bertemu di Malta pada Jumat.
Seperti Hahn, Piri menyarankan agar Brussels bisa meningkatkan perundingan untuk meningkatkan serikat pabean yang sudah dimiliki Turki bersama Uni Eropa selama dua atau tiga tahun mendatang.
Dia mengatakan bahwa proses tersebut juga dapat memberi waktu Eropa untuk meyakinkan Turki untuk mengubah kebijakan yang menurut para pemimpin Uni Eropa merongrong demokrasi Turki.
Sementara itu, jajak pendapat telah menunjukkan keunggulan tipis bagi suara "Ya" sebagai tanda dukungan bagi referendum yang akan menggantikan demokrasi parlementer Turki dengan sebuah kepresidenan yang berkuasa penuh dan memungkinkan Erdogan berada di tampuk kekuasaan hingga sedikit-dikitnya pada 2029.
Hasil referendum juga akan membentuk hubungan yang renggang antara Turki dengan Uni Eropa (UE). Negara anggota NATO itu telah meredam arus migran -- kebanyakan pengungsi dari perang-perang yang berkecamuk di Suriah dan Irak - masuk ke wilayah blok itu tetapi Erdogan menyatakan ia mungkin mengkaji ulang persetujuan itu setelah pemungutan suara tersebut.
Referendum itu telah membelah Turki. Erdogan dan pendukungnya mengatakan perubahan-perubahan diperlukan untuk mengamandemen konstitusi yang berlaku saat ini, menghadapi tantangan politik dan keamanan yang negara itu hadapi, dan menghindari pemerintahan-pemerintahan koalisi yang rentan seperti terjadi di masa lalu.
Penentang menyatakan referendum itu merupakan satu langkah menuju pemerintahan yang dipimpin oleh penguasa otoriter di sebuah negara tempat 40.000 orang telah ditangkap dan 120.000 dipecat atau di-PHK dalam penumpasan menyusul kudeta yang gagal Juli lalu. Aksi pemerintah itu mengundang kritik dari para sekutu Turki di Barat dan kelompok hak asasi manusia.
Hubungan Turki dengan Eropa mencapai titik rendah selama kampanye referendum itu ketika negara anggota UE, termasuk Jerman dan Belanda, melarang menteri Turki mengadakan kampanye untuk mencari dukungan bagi perubahan tersebut.
Erdogan menyebut larangan itu "tindakan Nazi" dan mengatakan Turki dapat mempertimbangkan kembali hubungan dengan UE setelah bertahun-tahun mengupayakan menjadi anggota kelompok tersebut. Demikian laporan Reuters.
(Uu.G003)
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017