Oleh R. Rekotomo dan A. Nazaruddin Lasem, sebagai kota batik di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, mengalami masa kejayan pada 1970-an dengan corak khasnya berupa batik berwarna merah darah ayam. Ketika itu hampir setiap rumah di kota kecamatan di pesisir utara Pulau Jawa itu memproduksi batik Lasem. Dari mereka, tercipta ratusan motif batik dari corak klasik hingga kontemporer. Tapi, motif klasik sebagai kenangan masa keemasan itu tidak lagi dikenal dan tersimpan rapi di Kota Lasem ataupun di Kabupaten Rembang. Semua itu justru berada di Negara Swiss, Belanda, Australia, dan Jepang. Persoalan Rembang tidak hanya dari kepemilikan dokumentasi batik klasik khas Lasem, jumlah pengusaha batik pun tinggal hitungan jari. Para pembatik pun satu-persatu meninggalkan profesi tersebut dengan sejumlah alasan. "Sebagian ada yang meninggal, hijrah ke kota, dan alih profesi untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga," kata pengusaha batik tulis Lasem, Purnomo (56). Selama ini, keahlian para pembatik umumnya didapat secara turun-temurun dan kegiatan itu dilakukan sebagai sambilan, karena pekerjaan utama mereka adalah petani dan buruh tani di kampung halamannya. Kondisi tersebut membuat produksi batik kurang maksimal dan keturunan mereka juga enggan meneruskan keahlian orang tuanya. Mereka lebih memilih hijrah ke kota besar untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Menurut Purnomo, merosotnya batik Lasem tersebut diperparah dengan hadirnya batik cetak dan sablon dari sejumlah daerah penghasil batik, karena harga jual batik cetak maupun sablon jauh lebih murah dibanding batik tulis. "Batik sablon bisa dijual Rp30ribu per helai, bahkan ada yang menawarkan dalam bentuk baju dengan harga Rp50 ribu per baju. Sedangkan batik tulis, per helai paling murah Rp100ribu, belum termasuk ongkos jahitnya," katanya. Hal itu menjadi mimpi buruk bagi pengusaha batik yang sudah terpuruk sejak krisis tahun 1998. Saat ini, hasil penjualan yang impas dengan biaya produksi dianggap sebagai keberuntungan untuk mempertahankan kelangsungan usaha perbatikan. Untuk menyiasati situasi yang demikian, para pengusaha terpaksa merampingkan usaha dengan memangkas jumlah produksi. Semula, setiap pengusaha selalu berproduksi untuk mengisi stok barang. Namun kini mereka hanya berproduksi ketika ada pesanan. Pemilik Galeri Batik Cap Kuda itu mengatakan, saat usahanya jaya dia memiliki tenaga kerja 250 orang orang. Saat ini tinggal 30 pekerja yang tersisa. "Bahkan, sebagian dari mereka itu hanya tenaga kerja lepas, dengan usia rata-rata di atas 40 tahun," katanya. Usaha yang dilakukan untuk menjaring generasi penerus yang memiliki keahlian membatik sebenarnya sudah dilakukan. Namun, untuk mendapatkan tenaga dari generasi muda yang berminat bekerja sebagai pembatik sangat sulit. Menurut Purnomo, ketidaktertarikan generasi muda untuk membatik karena alasan nilai ekonomi yang rendah dan tidak memiliki prestise. "Jika begini, kelangsungan batik tulis Lasem tinggal menghitung hari, karena tidak ada lagi generasi yang akan meneruskannya," katanya. Bagi Purnomo, usaha batik yang dijalaninya saat ini tinggal menunggu keberuntungan nasib. Bahkan dia menilai upaya promosi tidak akan berhasil, karena batik selama ini masih terkondisi untuk kalangan menengah atas dan khusus dipakai untuk acara tertentu. Kalangan masyarakat sekarang ini jarang memakai kain kebaya melainkan lebih senang memakai celana dan rok karena lebih praktis, modis, dan murah dibanding batik tulis. Kondisi tersebut kian membuat pasaran batik tulis, khususnya batik Lasem semakin melemah.Instruksi Pemerintah Provinsi kepada sejumlah instansi di kabupaten untuk menggunakan seragam batik khas daerah masing-masing memang menjadi angin segar bagi pengusaha batik untuk bangkit. Namun, belum adanya kejelasan regulasinya membuat sejumlah pegawai di instansi pemerintah hanya menganggap aturan itu sebagai formalitas dengan memakai batik cetak yang lebih terjangkau harganya. "Kami senang dengan upaya pemerintah provinsi mewajibkan pegawai di sejumlah instansi pemerintah menggunakan seragam batik. Meski demikian, apakah mereka juga harus beli sendiri," kata Naomi Susilowati Setiono (49), pengusaha batik di Lasem. Dia mengatakan, rata-rata harga batik paling murah berkisar Rp100 ribu per helai. "Apakah pegawai tingkat rendah mampu beli, kalau Kepala Dinas saya yakin mampu," katanya. Seharusnya, kata dia, ada bantuan dari pemerintah untuk membelikan baju seragam batik bagi sejumlah pegawainya. Jika ingin mengangkat batik tulis, tentunya yang dibeli batik tulis bukannya batik lain. Menurut dia, selain akan membangkitkan semangat membatik, usaha tersebut juga akan menyadarkan sejumlah kalangan terhadap warisan budaya batik tulis Lasem. Kenyataan membuktikan, rendahnya apresiasi terhadap batik tulis juga mengakibatkan kurang memasyarakatnya karya seni kerajinan tangan itu, karena selama ini batik dinilai khusus untuk kalangan berduit, kolektor, pecinta seni, dan dipakai pada kesempatan tertentu pula. Menurut Naomi, hal lain yang menyebabkan batik Lasem sulit berkembang adalah sulitnya mencari generasi penerus. "Berbagai upaya sudah kami lakukan namun minat generasi terhadap batik sangat kurang. Padahal dari mereka inilah kami berharap kelangsungan batik Lasem bisa diteruskan," kata ibu dua anak itu. Naomi mengaku sangat prihatin dengan kondisi perbatikan di Lasem, terutama generasi pembatiknya yang terus berkurang. Padahal, batik Lasem tidak terikat dengan pakem, sebagaimana batik Solo dan Yogyakarta yang harus terikat dengan pakem. Untuk itu, pihaknya tengah berusaha keras menjaring bakat muda dari sekolah dasar dan tingkat lanjutan pertama bekerjasama dengan dinas pendidikan setempat. Sayangnya, kata dia, upaya tersebut kurang mendapat respondari pihak sekolah dengan alasan tidak ada dana. Naomi juga telah mencoba mengusulkan muatan lokal pelajaran membatik pada salah satu mata pelajaran di sekolah, yang dinilai lebih mendidik dan memberikan keahlian bagi siswa dibanding dengan pelajaran tata boga yang bisa dipelajari sendiri. Dia berpendapat, pemerintah sepertinya memang tidak terlalu serius mengangkat batik tulis sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan dan sebagai usaha yang bisa mengangkat perekonomian masyarakat sekitar. Naomi saat ini berusaha sendiri mencari generasi penerus pembatik dengan menjaring ibu-ibu rumah tangga dan anak putus sekolah di sejumlah daerah untuk dididik menjadi pembatik. "Pernah sekali waktu kami mendidik 40 peserta dan hasilnya hanya 12 orang yang memenuhi syarat," ungkapnya dengan nada gembira. Dia berharap, pada masa mendatang kerajinan batik benar-benar bisa mendapatkan apresiasi dari masyarakat Lasem dan pencinta batik Indonesia. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007