Canberra (ANTARA News) - Indonesia tidak perlu khawatir akan ada krisis moneter (krismon) seperti tahun 1997, karena arus modal yang masuk belakangan ini cenderung berjangka menengah dan panjang, dan fundamental ekonomi Indonesia pun cukup baik, kata seorang ekonom ANU. "Tahun ini saya pikir `business as usual` (bisnis berjalan seperti biasa). Jadi, tak perlu khawatir," kata Ekonom yang Peneliti pada Sekolah Riset Studi-Studi Pasifik dan Asia (RSPAS) Universitas Nasional Australia (ANU), Budy P. Resosudarmo, PhD, kepada ANTARA yang menghubunginya dari Canberra, Minggu. Menurut Budy, Indonesia pun sebenarnya tidak terlalu banyak menerima modal yang masuk ke Asia belakangan ini. Sebagian besar modal yang masuk itu pun merupakan ekuitas yang dipersyaratkan tetap berada di Indonesia minimal tiga tahun. "Namun yang perlu diantisipasi adalah 'short run capital' karena bagaimana menginvestasikannya, belum dapat 'return' kita sudah kehilangan kapital itu. Hanya saja, sejauh ini, yang masuk sebagian besar adalah ekuiti. Ada requirement to stay (syarat untuk tetap tinggal) tiga tahun. Jadi tidak bisa seperti saham yang masuk begitu saja. Artinya, situasi bisa dibilang aman," katanya. Selain itu, Budy mengemukakan dilihat dari fundamental ekonomi, Indonesia pun cukup aman, seperti dapat dilihat dari tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah. "Jadi tahun ini baik-baik saja. Tapi kita monitor lagi tahun depan," katanya. Perdebatan tentang apakah Indonesia akan kembali terancam krisis moneter atau tidak seperti 1997 bermula dari peringatan yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang melihat situasi saat ini mirip dengan situasi menjelang krisis 10 tahun lalu, sehingga apabila ekonomi global tiba-tiba bergejolak dikhawatirkan Indonesia akan mengalami krisis kembali. Sri Mulyani mengatakan tiada pilihan lain bagi Indonesia selain meneruskan upaya reformasi agar tidak kembali diguncang krisis keuangan yang pernah melanda Asia Timur, sekaligus menjawab tantangan menguatnya ketergantungan sesama negara Asia. "Indonesia harus terus memperbaiki kelemahan kelembagaan dan kelemahan struktural yang masih ada," katanya.Wapres tepis kekhawatiran Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri menepis kekhawatiran ini. "Jangan khawatir. Banyak uang masuk khawatir, tidak ada uang masuk juga kawatir, gimana ini. Yang paling penting, kita harus menanggapinya secara proporsional dengan baik," kata Wapres Jusuf Kalla, di Jakarta, Jumat (11/5). Menurut Wapres, jika dilihat dari suasananya memang mirip ketika akan krisis, namun kondisi negara Indonesia saat ini sudah sangat jauh berbeda. Wapres mencontohkan jika pada saat krisis cadangan devisa yang dimiliki hanya sekitar 20 miliar dollar AS, sekarang ini cadangan devisa yang ada sekitar 55 miliar dollar AS. Dengan demikian, jika `hot money` (arus modal jangka pendek) tersebut keluar dengan tiba-tiba, tidak akan begitu menggoyang perekonomian nasional. Wapres juga menjelaskan kenapa dahulu terjadi krisis, salah satunya sebab dana-dana yang masuk (hot money) itu banyak digunakan untuk sektor-sektor konsumerisme, bukan untuk pembangunan. Selain itu, saat ini utang pemerintah menurun. Data lainnya adalah pada saat krisis ekspor nasional baru mencapai 40 miliar dolar AS per tahun, sedangkan saat ini telah mencapai 100 miliar dollar. "Jadi saya yakin ini (hot money) tidak akan menimbulkan apa-apa, asal kita manfaatkan betul dana-dana itu. Dan sekiranya pun terjadi, pemerintah tidak segegabah dulu menjamin apa saja," kata Wapres. Menurut Wapres, apa yang terjadi saat ini adalah akibat situasi dunia yang sedang mengalami likuiditas yang tinggi akibat ekonomi yang tumbuh. Saat ini, katanya, telah terjadi pertumbuhan ekonomi yang kuat di negara-negara Timur Tengah karena melambungnya harga minyak, cadangan devisi Tiongkok yang mencapai satu triliun dollar AS, serta membaiknya ekonomi Eropa. Setiap surplus likuiditas itu masuk ke negara-negara yang secara ekonomi prospeknya bagus ke negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), termasuk Indonesia, serta India, katanya. "Ini artinya propek ekonomi Indonesia itu bagus menurut pandangan investor," kata Wapres. (*)
Copyright © ANTARA 2007