"Jangan foto atau selfie di kantor imigrasi. Jangan kelihatan terlalu pandai Bahasa Inggris. Kalau ditanya tujuan ke Israel, jawab mau shalat di Aqsa, karena memang itu tujuan kita, tidak perlu bohong. Kalau ditanya hal lain, tunjuk saja tour leader. Jangan lupa berdoa."

Pesan pemandu dari Yordania itu, ditambah nasihat dari pengelola biro perjalanan untuk banyak berdoa saat menjalani pemeriksaan di kantor imigrasi Israel karena petugasnya seringkali menguji kekuatan mental, dan cerita dari rombongan yang satu anggotanya ditahan petugas imigrasi selama tiga jam tanpa penjelasan membuat gedung kantor imigrasi Israel di Allenby, yang berada di Lembah Yordan, terasa mengintimidasi.

Suhu udara yang awal Februari lalu rata-rata di bawah delapan derajat Celcius membuat berdiri mengantre giliran pemeriksaan makin menegangkan.

Ketegangan serasa langsung turun beberapa derajat ketika petugas imigrasi lelaki tanpa senyum selesai memeriksa paspor dan memberikan izin masuk berupa kertas warna biru gradasi putih seukuran kartu nama setelah satu jam lebih menanti.

Satu kekhawatiran hilang, tapi kekhawatiran lain datang.

Di tempat pemeriksaan barang bawaan, jaket, tas dan segala tetek bengek bawaan harus masuk ke alat pemindai. Kadang petugas secara acak melakukan pemeriksaan tambahan pada barang-barang turis maupun warga Palestina, dua kelompok yang dilayani di Allenby Border Terminal. Warga Israel dilarang melintasi perbatasan ini menurut laman Otoritas Bandara Israel.

Setelah dag-dig-dug menanti tas isi kamera dan aneka rupa bekal perjalanan yang entah mengapa ditahan petugas, bolak-balik dimasukkan ke alat pemindai, lalu ditumpahkan semua isinya untuk diperiksa, dan melewati tempat pemeriksaan terakhir di kantor imigrasi itu, rasanya dobel plong. Seperti menemukan kembali paspor yang dikira hilang dalam perjalanan sekaligus berhasil mengambil biji cabai yang bercokol di lubang gigi.

"Akhirnya datang juga...sudah hampir empat jam kami menunggu," kata Waleed Al Jora, pemandu Palestina yang menyambut rombongan peziarah muslim asal Indonesia di luar kantor imigrasi Allenby.

Ia lalu mengarahkan rombongan 22 orang itu ke bus yang akan membawa mereka ke sebuah restoran di Bethlehem yang menyajikan nasi dan ayam panggang lalu ke hotel tempat mereka menginap di Yerusalem; kota suci yang disebut sebagai rumah satu Tuhan, ibu kota dua rakyat, dan kuil tiga agama oleh penulis keturunan Yahudi, Simon Sebag Montefiore, dalam "Jerusalem: The Biography".

Malam sudah datang, dan dingin mencekam ketika rombongan tiba di kota lama Yerusalem, memasuki Gerbang Herods, melewati jalanan menurun di antara tembok-tembok krem menuju kompleks Masjid Al Aqsa atau al-Haram al-Sharif, yang hingga sekarang berada di bawah perwalian Raja Yordania.

Di pintu masuk kompleks masjid, ada dua aparat Israel yang berjaga, berseragam gelap, mengenakan helm, dan menyandang senjata.

Dari sana, ada jalan-jalan membelah taman luas dengan pohon-pohon zaitun menuju undak-undakan yang berakhir di halaman Masjid Kubah Batu, atau Kubah Shakhrah, atau Dome of The Rock.

Shalat magrib dan isya di Masjid Kubah Batu di kompleks Masjid Al Aqsa yang temaram saat malam mengakhiri perjalanan hampir setengah hari dari Amman menuju Yerusalem pada hari itu. Dingin belum pergi juga.


Kompleks Masjid al-Aqsa

Muslim dari berbagai negara mengunjungi Al Aqsa antara lain karena itu merupakan tempat Nabi Muhammad SAW melakukan Isra' dan Mi'raj, perjalanan semalam dari Masjidil Haram di Makkah menuju ke Masjid Aqsa di Yerusalem dan dari Masjid Aqsa menuju langit ke Sidratul Muntaha.

Ulama asal Palestina Syaikh Emad Yousef Musa Abu Hatab saat mengunjungi Bogor pada Juni 2015 mengatakan bahwa Rosullullah SAW memimpin seluruh nabi yang diutus shalat di Masjid Al Aqsa, menjadikannya sebagai satu-satunya tempat di Bumi di mana semua nabi shalat berjamaah.

Selain itu, Abu Darda (ra) meriwayatkan, Rosulullah SAW mengatakan bahwa shalat di Masjid Al Aqsa nilainya 500 kali daripada di masjid lain (Hadis Riwayat Bukhari).

Masjid al Aqsa juga merupakan kiblat pertama umat Islam.

Semua itu membuat muslim seperti Majdi H Al Kurdi, seorang pemandu wisata asal Yordania, tak pernah berhenti berusaha dan berdoa demi mendapatkan visa masuk Israel setelah berulang kali mengajukan permohonan dan ditolak.

"Dari 100 orang Yordania yang mengajukan visa, paling hanya dua yang bisa dapat," kata Majdi, yang pernah belajar Bahasa Indonesia di Yogyakarta dan kini sudah fasih menggunakannya.

Ia lalu meminta rombongan yang dia pandu mendoakannya di Aqsa, agar suatu saat dia juga bisa merasakan shalat di masjid bersejarah di dalam kompleks bangunan yang dikelilingi tembok di kota lama Yerusalem itu.

Kompleks al-Haram al-Sharif, yang luasnya menurut buku Montefiore total sekitar 35 acre atau lebih dari 141.000 meter persegi, meliputi taman luas dan sejumlah bangunan, termasuk Masjid Kubah Batu, Masjid Al Aqsa dan beberapa bangunan yang berukuran lebih kecil.


Masjid Kubah Batu di Kompleks al-Haram al-Sharif, Kota Lama Yerusalem. (ANTARA News/Maryati)


Masjid Kubah Batu terlihat paling menonjol. Bangunan segi delapan dengan warna dominan biru yang memiliki kubah emas itu ada di bagian tengah kompleks Al-Haram asy-Syarif.

Di bagian bawah masjid ini ada gua yang diyakini sebagai tempat Nabi Muhammad SAW naik menuju langit untuk melakukan Mi'raj.

Saat shalat Jumat 3 Februari lalu, bagian dalam masjid penuh sesak dengan jamaah yang sudah tidak tertampung di Masjid Al Aqsa.

Masjid Al Aqsa, yang berdinding krem dan memiliki pintu-pintu hijau tebal, berada di bagian yang lebih rendah. Kubahnya hitam.


Masjid Al Aqsa di Kompleks al-Haram al-Sharif, Kota Lama Yerusalem. (ANTARA News/Maryati)


Di bagian bawahnya ada ruangan dengan sisa pilar tempat ibadah yang dibangun oleh Nabi Sulaiman, tempat penampung air pada masa lalu dan perpustakaan yang dibangun pada masa Salahuddin Al Ayyubi menurut Waleed.

"Kalau ke Aqsa saya selalu berusaha shalat di sini, karena ini merupakan tempat Nabi Muhammad SAW mengimami para nabi shalat," kata Waleed.

Masjid Al Aqsa ditutup setelah shalat isya dan baru dibuka lagi antara satu sampai satu setengah jam sebelum waktu subuh.

Pagi hari, sekitar pukul 04.00 orang-orang yang datang ke Yerusalem untuk beribadah di Al Aqsa sudah berangkat dari hotel, berjalan sekitar 1,8 kilometer menuju ke masjid, melewati jalan raya sepi, mobil-mobil yang seperti mematung kedinginan, toko-toko yang masih tutup, dan gang-gang yang temaram.

Tidak seperti jalan-jalan menuju ke Masjid Nabawi di Madinah atau Masjidil Haram di Makkah yang selalu ramai, jalan-jalan menuju kompleks Al Aqsa sangat sepi saat dini hari. Jarang sekali bertemu dengan orang lain selain sesama anggota rombongan dalam perjalanan, atau pengemis di beberapa sudut gang di dalam kota lama Yerusalem.

Jamaah perempuan yang menunaikan shalat subuh di masjid itu awal Februari lalu kebanyakan berwajah Asia, sebagian besar berasal dari Indonesia dan Malaysia.

Masjid masih longgar sekitar satu jam sebelum waktu shalat. Sebagian jamaah menanti waktu shalat subuh dengan menunaikan shalat sunnah, berdzikir atau membaca Alquran sambil melawan dingin, yang serasa menusuk hingga tulang saat angin berembus masuk.

Saat waktu shalat tiba, imam bersuara merdu memimpin shalat, melantunkan ayat-ayat suci Alquran, dan membaca doa qunut petaka dengan penuh penghayatan, terdengar seperti memohon sepenuh hati dalam kesusahan yang teramat sangat, membuat hati-hati tersentuh, bahkan hati mereka yang tidak memahami artinya sekalipun.

Subuh berikutnya, imam lain yang bersuara berat dan sedikit serak menumbuhkan rasa serupa, membangkitkan tangis dengan lantunan doa-doa panjangnya untuk Al Aqsa dan kaum muslim.

Usai subuh dingin tak mereda. Kopi hangat yang dibagikan oleh seorang perempuan Palestina di depan masjid membantu tubuh melawan dingin beberapa saat.

Selanjutnya, hanya harum aroma roti yang baru keluar dari panggangan di kedai-kedai pinggir jalan yang terasa membantu meringankan perjalanan pulang yang mendaki dalam dingin.


Jejak para nabi


Mount of Temptation. (ANTARA News/Maryati)


Ada banyak jejak nabi di dalam dan sekitar Yerusalem, kota dengan banyak nama yang sudah menyaksikan banyak perang, perebutan kekuasaan, penaklukkan, serta penguasa baik yang bijak sampai tiran yang kejam.

Di Bukit Zaitun, ada Chapel of Ascencion (Kapel Kenaikan) dengan batu bertutup kaca yang diyakini sebagai tempat Nabi Isa naik ke surga dan makam Salman Al Farisi, pencari kebenaran asal Persia yang kemudian memeluk Islam dan menjadi sahabat Nabi Muhammad SAW serta mengusulkan penggalian parit saat perang Khandaq.

Lalu ada Church of the Nativity atau Gereja Kelahiran di Bethlehem, yang sejak Abad II diyakini sebagai tempat kelahiran Nabi Isa menurut situs resmi UNESCO. Pintunya pendek. Pengunjung harus menunduk untuk memasuki bangunan yang meliputi biara dan gereja Orthodok Yunani, Fransiskan dan Armenian serta menara dan taman itu. Renovasi yang sedang berlangsung membuat pengunjung tidak bisa leluasa melihat-lihat gereja itu.

Sementara makam Nabi Musa, yang berupa batu persegi tertutup kain hijau bertulisan Arab, berada di dalam kompleks bangunan yang berada di 11 kilometer selatan Jericho, kota tertua dan terendah di dunia, sekitar 20 kilometer di timur Yerusalem.

Selanjutnya ada Mount of Temptation atau Bukit Percobaan di tiga kilometer barat laut Jericho, sekitar 58 kilometer di timur Yerusalem. Bukit itu diyakini sebagai tempat Nabi Isa melakukan perenungan selama 40 hari 40 malam.

Dari Jericho yang dikenal sebagai sentra produksi pertanian dan penghasil kurma medjool, biara Bukit Percobaan hanya terlihat seperti pahatan pada gunung batu cokelat.

Selain itu ada makam Nabi Ibrahim dan Nabi Ishak di Hebron, sekitar 30 kilometer selatan Yerusalem.


Ketegangan di Hebron

Setelah perjalanan diwarnai kemacetan akibat demonstrasi yang tampaknya sedikit rusuh, serombongan peziarah asal Indonesia tiba di Hebron atau al-Khalil di bagian selatan Tepi Barat pada 3 Februari petang.

Matahari masih terang, anak-anak berpipi merah bermain di gang di antara bangunan-bangunan berwarna krem, mereka tertawa dan beberapa menyapa "Haloo...! Haloo...!

Tapi entah mengapa ketegangan terasa menggantung di udara, sampai-sampai niat mengambil kamera untuk mengabadikan tempat itu pun dibatalkan karena khawatir.

Mungkin karena Waleed kali ini terlihat berhati-hati, berjalan agak pelan sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket dan yang berkali-kali menekankan "harus bersama, terus sama-sama, saya tidak mau ada yang terpisah".

Dan saat dua pemuda setempat berjalan menghampiri, Waleed tampak menjaga jarak, hanya memberikan jawaban-jawaban singkat kepada dua pemuda yang kemudian terus membuntuti rombongan.

Setelah melewati jalanan menurun, satu atau dua toko suvenir yang masih buka dan lorong agak gelap, dan bertemu beberapa orang berseragam gelap dengan tulisan "Observer", rombongan harus melewati dua pintu kontrol sebelum sampai ke bangunan yang tampaknya pos pemeriksaan.

Di dalamnya ada aparat Israel berseragam yang menyandang senjata, dia bicara sebentar dengan Waleed sambil menatap curiga, dan Waleed menyerahkan buku saku kecil bersampul biru sambil mengendikkan bahu sebelum memandu rombongan menuju Masjid Ibrahim al Khalil.

Saat menaiki tangga dan sampai di bagian dalam masjid, terdengar suara nyanyian yang ternyata lantunan puji-pujian dari orang-orang Yahudi yang sedang beribadah.

Bangunan yang meliputi makam Nabi Ibrahim dan istrinya Siti Sarah serta Nabi Ishak dan istrinya Rifka atau Rebecca itu memang terbagi dua menurut Waleed, separuh untuk tempat ibadah umat Islam dan separuh untuk tempat ibadah orang Yahudi.

Petang itu cuma ada seorang perempuan dan anaknya dan beberapa lelaki yang menunaikan shalat magrib dan isya di masjid. Waleed mengatakan pada malam hari memang tidak banyak yang shalat di sana karena alasan keamanan.

Ia juga menuturkan bahwa sudah menjadi tradisi bagi orang Palestina untuk berziarah ke makam Nabi Ibrahim sebelum menunaikan ibadah haji dan umrah. "Saya juga ziarah ke sini sebelum haji...," katanya.

Ketika rombongan hendak keluar melewati pintu putar kompleks masjid itu, beberapa lelaki menghadang, bicara dengan suara keras dan nada tinggi, berdebat dengan Waleed. Suasana jadi tegang, bahkan setelah satu dari pria-pria itu bilang "No problem! No problem! Okay?"

Setelah itu rombongan boleh lewat. Mereka berusaha sekuat tenaga mengabaikan dingin dan melintasi jalan panjang menanjak supaya bisa segera meninggalkan tempat itu. Anak-anak kecil datang, mengejar meminta sedekah, namun pria-pria yang tadi berdebat dengan Waleed menyuruh mereka pergi. Dan semua bernafas lega ketika sampai di depan bus.

"Tadi, waktu kita di dalam, semua orang di luar mau uang...semua mau uang..., lalu saya bilang bahwa tujuan kita ke sini untuk ziarah," kata Waleed sesampainya di dalam bus.

"Orang-orang ini bukan orang jahat, saya tahu mereka, mereka hanya butuh dan minta...kalau ada yang mau kasih silakan, tidak juga tidak apa-apa...," tambah dia.


Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017