Jumlah orang yang terbunuh sejak awal tahun ini terlalu banyak."

Roma (ANTARA News) - Organisasi Urusan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB (FAO) mengumumkan akan menarik stafnya dari beberapa daerah konflik di Sudan Selatan, dan melaporkan bahwa akan menggunakan helikopter yang jauh lebih mahal untuk pengiriman bantuan demi keselamatan petugas.

Serge Tissot, Perwakilan FAO di Sudan Selatan, melaporkan bahwa terpaksa mengambil keputusan itu setelah pembunuhan terhadap tiga pekerja bantuan pada minggu lalu, saat mereka menjalankan misi kemanusiaan di salah satu negeri rawan kelaparan tersebut.

Kekerasan terhadap pekerja bantuan semakin sering terjadi di negara kaya minyak, namun mengalami bencana kelaparan selama enam tahun ini, catatnya.

Sejak perang saudara dimulai, PBB mencatat bahwa setidak-tidaknya 82 orang dilaporkan tewas.

Konflik di negara termuda di dunia itu meletus saat Presiden Salva Kiir Mayardit memecat wakilnya pada tahun 2013, Riek Machar Teny Dhurgon, yang memicu sebuah konfrontasi antara dua kelompok etnis terbesar di negara ini.

Sejak saat itu, PBB mencatat pula bahwa konflik telah meluas dan terfragmentasi, melibatkan sejumlah kelompok etnis yang lebih kecil dan membagi beberapa kelompok etnis yang lebih besar.

"Jumlah orang yang terbunuh sejak awal tahun ini terlalu banyak. Kita tidak bisa terus seperti itu," kata Tissot kepada Thomson Reuters Foundation melalui telepon.

Pekan lalu, menurut dia, tiga orang yang bekerja sebagai staf angkut FAO dibunuh di Kota Wau, yang menjadikan jumlah korban pekerja bantuan yang tewas tahun ini menjadi 15 orang.

Sebagai konsekuensinya, FAO menarik sementara 40 persen stafnya dari Wau, tapi tidak akan mengungkapkan jumlahnya.

FAO juga mempertimbangkan untuk mengalihkan sebagian besar cara pengiriman bantuannya menggunakan helikopter di bagian wilayah timur Unity, Upper Nile dan Jonglei agar staf tetap aman, katanya.

"Kami akan beroperasi di beberapa lokasi hanya melalui udara," kata Tissot.

Ia menimpali, "Masalah utamanya adalah biayanya sangat mahal. Ini seperti sepuluh kali lebih mahal daripada pengiriman melalui jalan darat."

Selain itu, ia menuturkan, tanpa kehadiran petugas FAO di lapangan, maka petani dan nelayanakan sulit terbantu mengendalikan potensi wabah penyakit ternak dengan program vaksinasinya.

PBB juga mencatat bahwa lebih dari 100.000 orang Sudan Selatan sudah mengalami kelaparan, dengan jutaan lainnya di ambang kelaparan, akibat konflik internal di kalangan elit politiknya.

Dalam beberapa pekan terakhir pertempuran telah berkecamuk di kota-kota di selatan wilayah Equatoria, di mana warga sipil yang melarikan diri mengatakan, tentara pemerintah telah memulai pembunuhan warga sipil.

Petani melaporkan telah kehilangan musim tanam karena semua aksi kekerasan. Hal ini bakal memicu terjadinya krisis pangan sampai 2018.

Tissot juga mengemukakan kekhawatiran bahwa jalan yang menghubungkan ibu kota, Juba, ke Uganda, yang selama ini menjadi jalur pasokan utama makanan ke Sudan Selatan bakal terkendala lantaran pertempuran.

"Jika jalan ditutup, maka kita akan berada dalam masalah besar," katanya menambahkan.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017