Busia (ANTARA News) - Berbekal cangkul dan sepatu bot Wellington, George Wandera menanam bibit bambu dengan lubang yang digali rapi di sepanjang aliran sungai di ladangnya yang mengalir ke danau terdekat di bagian barat Kenya.
"Saya belum pernah mencoba ini di lahan saya sebelumnya, tapi ini adalah langkah pertama dalam melindungi aliran sungai. Sebelum hujan terakhir beberapa hari lalu, sumber air telah benar-benar kering," tuturnya kepada Thomson Reuters Foundation.
Sebagian besar wilayah Kenya, termasuk wilayah Busia tempat Wandera tinggal, mengalami kekurangan air parah yang telah merusak tanaman dan menyebabkan 2,6 juta orang membutuhkan bantuan.
Lahan basah di negara ini juga menderita kekeringan, menempatkan komunitas yang bergantung pada perikanan atau irigasi pada risiko kelaparan, dan mereka yang mengandalkan lahan basah sebagai pencegah banjir dan kekeringan.
"Lahan basah, seperti danau dan dataran banjir bertindak sebagai perlindungan alami terhadap bencana, dengan menyerap curah hujan berlebih saat banjir, yang kemudian air berlebih dapat tersedia pada masa-masa kekeringan," tutur Julie Mulonga, manajer program di Wetlands International Kenya, badan amal konservasi di Busia.
Selama kekeringan sekarang petani dan penggembala telah mengambil air dari lahan basah, sementara aliran sungai bagi sumber makanan mereka mengering.
Curah hujan yang tidak dapat diprediksi bukan satu-satunya alasan lahan basah Kenya berada dalam ancaman. Masyarakat setempat juga telah menguras mereka untuk menanam tanaman, kata Mulonga.
Wandera ingat ketika sebagian besar lahan basah Sio-Siteko yang dekat dengan perbatasan Uganda dikeringkan untuk lahan pertanian.
"Kami tidak pernah menyangka kegiatan kami berbahaya sampai kami melihat konsekuensinya, yaitu lebih banyak banjir pada musim hujan dan kekurangan air selama musim kemarau, yang menyebabkan turunnya vegetasi dan spesies hewan," katanya.
Pada bulan Februari 2017 Pemerintah Kenya meluncurkan kebijakan pengelolaan lahan basah pertama untuk membantu melindungi lahan basah negara tersebut.
"Kalau dikelola dengan baik, lahan basah bisa membuat masyarakat lebih tahan menghadapi cuaca ekstrem," kata Mulonga.
Badan amal layaknya Wetlands International Kenya, dengan dukungan dari pemerintah, bekerja sama dengan masyarakat di Busia untuk melindungi lahan basah mereka sambil membantu mengembangkan alternatif pertanian seperti peternakan lebah dan ekowisata.
Mereka juga menanam jenis pohon dan bambu lokal, dan menggunakan papirus untuk membuat keranjang dan sandal.
"Kita perlu menyeimbangkan antara kebutuhan populasi dan kebutuhan untuk melestarikan habitat alami," kata Kepala Eco Green, Robert Sanya, sebuah badan amal Kenya yang berkampanye mengenai masalah lingkungan.
"Bambu misalnya, bisa menyerap karbon dalam jumlah besar dari udara yang membantu mengurangi perubahan iklim, sementara jaringan akarnya yang luas dapat mencegah erosi tanah, sehingga membuatnya ideal untuk melestarikan tepian sungai dan sungai yang masuk ke lahan basah," pungkas Sanya.
Wandera mengatakan beberapa petani sedang membangun rumah kaca untuk mengolah sayuran seperti ubi jalar.
"Rumah kaca mahal untuk dibangun, dan butuh banyak uang. Tapi, mereka memastikan petani bisa menanam sayuran dengan menggunakan lebih sedikit air dan tanah, sehingga mencegah perambahan lahan basah mereka," katanya menambahkan.
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017