Cara elegan seperti apa yang Okky maksudkan? lalu tantangan apa yang dia hadapi sejauh ini, serta apa mimpinya pada jalur yang masih identik dengan kaum adam itu?
Berikut petikan wawancara Okky yang kini duduk di Komisi IX DPR Ri kepada ANTARA News melalui sambungan telepon, Kamis (20/4).
Adakah momen khusus yang membuat Anda memutuskan masuk ke ranah politik?
Enggak pernah terpikirkan. By accident saja. Waktu itu kan Undang-Undang Pemilu mengharuskan setiap partai politik memiliki 30 persen calon perempuan, ya sudah, waktu itu ada tiga partai yang mendekati saya. Karena waktu PPP yang pertama kali masuk, dan Ratih Sanggarwati juga ditawari, kami berdua saling menguatkan saja.
Setelah dua tahun, ini periode saya yang kedua, dua tahun pertama saya di DPR, saya mulai mencintai, menikmati dinamika kerja politik sebagai legislator.
Karena sebagai legislator itu kita harus mempunyai cara berpikir sistematis, perlu bisa menganalisa sintesa, tesa antara undang-undang terdahulu dan undang-undang yang sedang kita bahas.
Kita juga perlu bisa memberikan keberpihakan pada rakyat. Dan yang paling penting juga menurut saya, menjadi anggota dewan itu dia perlu berbicara baik, harus bisa dan mau berpikir dan dia bisa duduk berlama-lama di belakang meja. Kalau hal-hal itu dia tidak bisa menguasai, sulit.
Sejauh ini apa tantangan terbesar Anda?
Saya bukan tipe orang yang senang berargumentasi, ngotot-ngototan. Jadi saya kalau ingin berargumentasi, gaya saya lebih baik bertanya.
Akibatnya adalah mungkin orang menilai saya bukan politisi yang vokal, frontal dan buat saya enggak apa-apa. Saya sejauh ini belum ini mengubah gaya saya. Karena menurut hemat saya, untuk menjadi politisi yang berpihak kepada kepentingan orang banyak, enggak usah harus frontal dan vokal.
Kita bisa menyampaikan dengan cara-cara yang lebih elegan.
Di DPR sendiri, bagaimana soal keterwakilan perempuan saat ini?
Sudah ada beberapa fraksi yang ketua fraksinya itu perempuan seperti misalnya, PKB, PPP. Tetapi tetap saja partai politik ini untuk posisi-posisi strategis di DPP, tetap saja persentase perempuan belum begitu menggembirakan.
Keterwakilan perempuan di DPR sekarang menurun dibandingkan periode lalu.
Mengapa ini bisa terjadi?
Saya melihat, untuk perempuan masih ke ranah politik misalnya parlemen masih one man one spot, dengan masyarakat yang sudah demikian pragmatisnya.
Itu kalau tidak mempunyai modal sosial yang besar, artinya dia harus mempunyai modal finansial yang besar.
Kita ketahui untuk perempuan bisa memiliki modal sosial yang besar itu enggak sebanyak peluangnya dengan laki-laki.
Apa yang perlu dilakukan?
Afirmasi masih perlu dilakukan perempuan agar lebih banyak keterlibatannya di politik. Afirmasi dari pihak partai, masyarakat. Perempuan juga harus berani berpolitik.
Sebenarnya apa yang membuat perempuan enggan berpolitik?
Selama ini kan politik sudah dikenal sebagai dunia laki-laki. Sementara perempuan secara alamiahnya kan tidak begitu. Ada perempuan yang senang berorganisasi, beradu argumentasi. Tetapi lebih banyak perempuan yang lebih senang tidak berargmentasi, tidak frontal pada orang lain.
Jadi, ketika mereka menghadapi pilihan masuk ke ranah politik atau tidak, mereka memilih tidak.
Karenanya saya selalu mengatakan bahwa politik itu tidak harus selalu kasar, intrik, keras. Karena kita bisa bicara dari sisi kesehatan reproduksi, politik kesejahteraan keluarga, politik kesehatan, politik kesejahteraan keluarga dan lainnya.
Ini memang sifatnya softcore dari politik, bukannya hardcore. Jadi, tidak apa-apa, yuk perempuan masuk ke ranah politik, yang softcore-nya saja dulu.
Karena bila terlibat dalam softcore, lama-lama rasa percaya diri semakin bertambah, lama-lama kan bisa kalau mau ke hardcore. Milsanya masuk Pilkada, ataupun posisi-posisi strategis di ranah politik.
Bertepatan dengan peringatan hari kelahiran RA Kartini, apa pesan Anda untuk perempuan di Indonesia?
Kalau hendak merayakan kelahiran RA Kartini itu saya berharap jangan hanya sekedar lomba-lomba busana seperti RA Kartini. Tetapi lebih kepada hal-hal substansif yang diperjuangkan RA Kartini.
Beliau memperjuangkan supaya perempuan mempunyai akses dan juga pendidikan yang sama dengan kaum pria. Tidak dipingit, tidak hanya menunggu apapun yang terkait dengan kasur, dapur dan sumur.
Jadi, memperingati hari RA Kartini ini lebih kepada sejauh apa perempuan di lingkungan masing-masing itu bisa memberikan inspirasi, bahwa selain dia bermanfaat buat keluarga, dia juga bermanfaat bagi orang banyak.
Meskipun saya melihat dari tahun ke tahun, lomba-lomba itu masih diadakan, hanya saja saya lihat melalui media itu mulai mengangkat Kartini-Kartini yang memberikan inspirasi bagi pemberdayaan perempuan yang lebih bermartabat lagi.
Kemudian, kalau berbicara tentang persamaan perempuan untuk tampil di ranah publik, baik itu sosial, politik maupun ekonomi, saya melihat perempuan sudah mulai sebagai subjek. Meskipun itu terjadinya di kota-kota besar.
Di kota-kota lain, kabupaten, desa, saya lihat perjuangan Kartini saya melihat masih panjang untuk direalisasikan. Saya bisa melihat dari pernikahan anak di desa, masih masuk 10 besar di dunia.
Anda menandai wilayah mana itu?
Yang saya ingat itu di Kalimantan Barat. Bahkan Jawa Barat dan daerah-daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi. Karena mereka menikahkan perempuannya lebih muda agar melepaskan tanggung jawabnya secara ekonomi dalam keluarga.
Apa pandangan Anda soal pernikahan dini ini?
Sebetulnya ini kaitannya dengan tingkat kemiskinan, pendidikan. Mengacu pada Undang-Undang Perkawinan di mana memang usia perempuan untuk menikah itu 18 tahun.Padahal BKKBN dengan Komisi IX DPR khususnya menginginkan perempuan itu 21 tahun dan laki-laki minimal 25 tahun.
Ini dengan asumsi biarlah perempuan ini sekolah dulu. Lebih tinggi sekolahnya kan lebih baik, jadi lebih banyak pilihan untuk menentukan hidupnya sendiri.
Akibat pernikahan dini, Indonesia masuk dalam 5 besar untuk angka kematian ibu melahirkan, salah satunya karena usia dini, organ-organ reproduksinya belum matang. Juga karena akses menuju pelayanan kesehatan masih buruk, infrastrukturnya, keberadaan tenaga kesehatannya.
Apa mimpi Anda yang ingin diwujudkan?
Jangan sampai Indonesia menjadi negara yang anak-anaknya mengalami malnutrisinya semakin banyak. Kala orang malnutrisi itu jadi stunting, pendek. Nah negara kita ini merupakan negara terbesar kedua yang angka stuntingnya paling banyak se-Asia.
Mimpi saya bila dikaitkan dengan tugas saya saat ini, saya ingin indeks pembangunan manusia Indonesia meningkat. Sekarang kan merosot terus, dari 188 negara kita yang tadinya 110 jadi 113. Merosot terus. Untuk IPM itu kan indikatornya kesehatan, pendidikan dan ekonomi.
Mimpi saya, Indonesia ini IPM-nya khususnya angka kematian ibu, stunting, angka penikahan dini, bisa diperbaiki. Makanya perlu disuarakan.
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017