Semarang (ANTARA News) - Jumlah tindak kekerasan terhadap perempuan di Provinsi Jawa Tengah masih tergolong tinggi sehingga perlu mendapat perhatian dari semua pihak terkait.
"Dari tindak kekerasan yang dialami perempuan di Jateng, mayoritas adalah kekerasan seksual," kata Koordinator Divisi Data dan Informasi Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang Witi Muntari di Semarang, Jumat.
Ia mengungkapkan, selama 2016 tercatat 496 kasus kekerasan terhadap perempuan di Jateng dengan korban mencapai 871 perempuan, dengan 700 perempuan atau 80,4 persen diantaranya mengalami kekerasan seksual.
Menurut dia, tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan jumlah korbannya ini termasuk tinggi.
Pada periode Januari sampai Februari 2017, tercatat sudah ada 58 kasus kekerasan tehadap perempuan, antara lain kasus kekerasan dalam pacaran yang berjumlah 19 kasus atau 11,02 persen, kekerasan dalam rumah tangga yaitu 14 kasus atau 8,2 persen, perkosaan 12 kasus atau 6,96 persen.
Kemudian, perbudakan seksual tujuh kasus atau 4,06 persen , buruh migran, prostitusi, serta pelecehan seksual masing-masing kasus dua kasus atau 1,16 persen.
"Kalau dilihat dari bentuk kekerasannya, kekerasan seksual masih mendominasi dengan jumlah 72,32 persen atau 64 perempuan korban, kemudian kekerasan fisik 14,69 persen, dan psikis 9,04 persen," ujarnya.
Dari data tersebut, LRC-KJHAM Semarang menilai bahwa masih tingginya perempuan yang mengalami kekerasan seksual dibandingkan dengan korban yang mengalami kekerasan fisik maupun psikis.
"Para perempuan korban kekerasan seksual membutuhkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat dan pada peringatan Hari Kartini tahun ini mestinya semua pihak memperhatikan persoalan tersebut," katanya.
Berdasarkan monitoring LRC-KJHAM, secara umum perempuan yang menjadi korban kekerasan pendidikan terakhirnya tingkat SMA sederajat, meskipun di antaranya terdapat juga perempuan yang mempunyai pendidikan lebih tinggi misalnya Strata 1 atau sederajat.
"Artinya, meski perempuan mempunyai pendidikan tinggi tak menjamin tidak menjadi korban kekerasan karena relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan masih sangat kuat sehingga masih terjadi diskriminasi terhadap perempuan salah satunya kekerasan terhadap perempuan," ujarnya.
Pewarta: Wisnu Adhi N.
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017