Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat Peduli Pemberantasan Korupsi meminta DPR untuk menahan diri dan tidak mencampuri kewenangan penegakan hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyusul usulan pengajuan hak angket oleh Komisi III DPR.
"Kami berpendapat bahwa inisiatif hak angket yang digulirkan pleh beberapa anggota DPR dalam kaitannya dengan penyidikan terhadap Miryam S Hariani bisa mengarah pada terjadinya konflik kepentingan dan intervensi proses hukum di KPK (ostruction of justice), karena itu kami menyerukan agar DPR bisa menahan diri untuk tidak mencampuri kewenangan penegakan hukum KPK," kata perwakilan Masyarakat Peduli Pemberantasan Korupsi Natalia Subagyo di gedung KPK di Jakarta, Jumat.
Natalia menyampaikan pernyataan bersama tokoh antikorupsi lainnya yaitu Betti Alisjahbana, Lelyana Santosa dan Zainal Arifin Muchtar. Selain keempat orang itu, masih ada 11 orang, antara lain Erri Ryana Hardjapamekas, Dadang Trisasongko, HS Dillon, dan Todung Mulya Lubis yang bertemu pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo dan Laode M Syarif untuk menyampaikan aspirasinya.
"Dalam diskusi panjang, ada kecurigaan hak angket ini abal-abal karena tidak jelas alasan sesungguhnya hak angket ini. Beberapa orang mengatakan ini terkait dengan Miryam dan laporan keuangan KPK, tapi dua-duanya kelihatan tidak pas karena mengenai laporan keuangan KPK itu beberapa tahun lalu sudah diproses BPK dan sudah selesai," kata Zainal Arifin Muchtar.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III pada Rabu (19/4) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP Elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi e-KTP pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran e-KTP.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa Novel namanya.
"Begitu juga dengan dokumen pemeriksaan BAP, kami anggap dokumen pemeriksaan pro-justicia maka hanya bisa dibuka di persidangan. Kami tidak tahu alasan dibalik DPR memaksa membuka itu. Jangan-jangan ini bukan untuk memperjelas proses penegakan hukum tapi memperkeruh proses penegakan hukum. Jangan sampai KPK mau membuka ini. Ini akan jadi modus berulang yaitu ancaman-ancaman yang bisa dibuat-buat," tambah Zainal.
Zainal yang juga menilai bahwa usulan pengajuan hak angket tersebut berlebihan.
"Penggunakan hak angket itu agak berlebih. Hak penyelidikan kaitannya dengan kebijakan pemerintah jadi agak berbahaya menjalankan UU sebagai bentuk kewenangan pengawasan DPR karena tidak tertutup kemungkinan nanti hakim bisa dipanggil oleh DPR. Hak angket penyelidikan yang ujungnya rekomendasi jadi kami agak bingung dalam penegakan hukum lalu ujungnya ada rekomendasi ke KPK, jangan-jangan DPR terlalu memperluas proses angket itu sendiri," ungkap Zainal.
Selain itu, Zainal juga meminta ada penuntasan pengusutan pelaku yang melakukan penyiraman terhadap penyidik KPK Novel Baswedan.
"Semua berawal dari keprihatinan. Kami berkumpul dan berdiskusi mendalam dan harus dipikirkan penanganan perkara yang jauh lebih kuat karena teror ini untuk semua lapisan. Harus ada upaya yang kuat untuk penanganan kasus novel ini. Tak hanya berhenti di KPK tapi juga di Presiden. Kami minta peran yang lebih dari Presiden," tegas Zainal.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017