Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan membuka rekaman pemeriksaan anggota DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani terkait kasus KTP Elektronik di luar persidangan, meski Komisi III DPR mengusulkan penggunaan hak angket mengenai kasus tersebut.
"Pada akhir RDP Rabu dini hari, kami sampaikan bahwa KPK berbeda pendapat dengan Komisi III. KPK tentu tidak dapat membuka rekaman pemeriksaan saksi kecuali dalam proses persidangan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Rabu (19/4), KPK menolak membuka rekaman pemeriksaan Miryam terkait kasus korupsi dalam pengadaan KTP Elektronik (KTP-E) sehingga Komisi III berniat mengajukan hak angket.
Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut, Novel Baswedan, mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta bahwa ia menerima dan membagikan uang dalam penganggaran KTP-E.
Anggota Komisi III yang melakukan itu, menurut Novel, adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa namanya.
"Telah kami sampaikan bahwa keterangan tersebut dan bukti-bukti lain adalah bagian yang saling terkait dengan kasus yang sedang kita tangani, baik penyidikan dengan tersangka MSH (Miryam S Haryani) ataupun proses persidangan kasus KTP-E yang juga sedang berjalan," ungkap Febri.
Menurut Febri, membuka bukti di luar persidangan hanya akan mengganggu jalannya penyidikan.
"Kita menghormati kewenangan pengawasan yang dijalankan DPR, namun jika keterangan saksi di sidang yang saat itu disampaikan penyidik KPK Novel Baswedan tentang adanya orang-orang tertentu yang menekan Miryam dipersoalkan, dan bukti-bukti yang ada dibuka di luar proses hukum tentu berisiko membuat bias atau bahkan menghambat penanganan kasus KTP-E yang sedang berjalan," tambah Febri.
Ia berharap semua pihak memahami bahwa proses hukum kasus korupsi dalam pengadaan KTP-E yang sedang ditangani KPK mesti dibiarkan berjalan di jalur hukum agar penanganan kasus tidak terganggu.
Di DPR, Fraksi PDI-Perjuangan, Golkar, Gerindra, Demokrat, PPP, dan Nasdem menyetujui penggunaan hak angket dalam perkara korupsi KTP-E. Tiga fraksi lainnya, PAN, PKS dan Hanura, menyatakan mendukung dengan catatan akan berkonsultasi dengan pimpinan fraksi sedangkan fraksi PKB abstain karena wakilnya tidak hadir saat rapat.
Usul itu akan disampaikan ke rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk dibahas di rapat paripurna DPR dan paripurna akan memutuskan hak angket ini dilanjutkan atau tidak.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017