Yaounde (ANTARA News) - Aksi pemogokan dokter di Kamerun menyebabkan pasien terlantar tanpa perawatan kritis di ibu kota Yaoude pada Senin, peristiwa terbaru dalam serangkaian tindakan dari organisasi dokter yang melumpuhkan negara dengan krisis politik itu.
Organisasi dokter, yang dikenal sebagai SYMEC, menuntut kondisi kerja dan gaji yang lebih baik. Aksi mereka itu mengakibatkan para perawat harus menangani pasien-pasien di beberapa rumah sakit besar Yaounde.
Pemogokan itu tidak terkait langsung dengan aksi serikat lainnya, tetapi menambah kekacauan di negara Afrika tengah tersebut yang telah dilanda protes sejak Oktober di bagian selatan dan barat laut Anglophone.
Para guru dan pengacara telah melakukan pemogokan selama berbulan-bulan untuk memprotes apa yang mereka katakan sebagai upaya marjinalisasi terhadap mereka di negara dengan mayoritas warga berbahasa Prancis itu.
Negara itu telah dipimpin oleh Presiden Paul Biya selama 35 tahun. Sebagai balasannya, pemerintah telah menutup akses internet di kawasan mayoritas berbahasa Inggris.
Di Rumah Sakit Pusat Yaounde, Senin, para pasien marah saat menanti memperoleh pelayanan, memegang resep dan hasil tes, tapi tidak ada dokter yang tampak, kata seorang saksi kepada Reuters.
"Ayah saya mengalami kecelakaan sepeda motor dan harus menjalani operasi hari ini. Tapi tidak ada ahli bedah, kami diberitahu bahwa ada aksi pemogokan, dan perawat mengatakan kepada kami bahwa mereka hanya berurusan dengan pasien yang dirawat di rumah sakit atau dengan janji," kata Marianne Balla, yang menunggu di Rumah Sakit Pusat.
Pemerintah mengatakan pemogokan itu ilegal karena SYMEC bukan organisasi yang diakui secara hukum, sebuah tuduhan yang disebut SYMEC sebagai tidak benar.
Tidak jelas bagaimana pemogokan tersebut di kota lain. Beberapa rumah sakit di luar ibu kota yang dihubungi Reuters melalui telepon mengatakan bahwa mereka beroperasi seperti biasanya.
Pemogokan itu terjadi di saat kritis bagi Biya, yang berada di bawah tekanan untuk menyelesaikan krisis yang berkembang secara damai.
Sedikitnya enam pengunjuk rasa ditembak mati dan ratusan orang lain ditangkap selama aksi tantangan langka pada otoritas negara menjelang pemilihan presiden tahun depan.
Dalam upaya jelas untuk membasmi kritikus online, pemerintah telah memotong akses internet di dua kawasan berbahasa Inggris selama tiga bulan, bersusah payah menjaga aktivitas bisnis dan memicu kritik dari kelompok hak asasi manusia dan Perserikatan Bangsa Bangsa.
Namun, dengan Biya masih berupaya untuk memperpanjang kekuasaannya tahun depan, beberapa pihak memperkirakan tindakan tegas pemerintah akan berlanjut.
"Dengan pemilihan digelar tahun depan, kita bisa memperkirakan situasi jauh lebih buruk sebelum kemudian menjadi lebih baik, "kata Jeffrey Smith dari kelompok kampanye Vanguard Afrika.
(Uu.G003)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017