Jakarta (ANTARA News) - Pengacara senior Adnan Buyung Nasution di Jakarta, Jumat malam, mengatakan, Mahkamah Agung (MA) dapat menyatakan putusan untuk mengeksekusi lahan seluas 78 hektar di Meruya Selatan, Jakarta Barat, tidak dapat dilaksanakan. Menurut dia, pembatalan pelaksanaan putusan adalah mekanisme yang biasa di MA. Kebijakan itu bisa diambil jika kondisi tidak memungkinkan untuk menjalankan putusan itu. "Putusan MA bisa tidak dijalankan karena perubahan kondisi," katanya. Untuk itu, MA diharapkan mencermati kondisi obyektif di lapangan yang tidak memungkinkan eksekusi lahan dilaksanakan. Kondisi obyektiF tersebut, menurut dia, di antaranya adalah kepemilikan sertifikat oleh warga setempat. Selain itu keberadaan puluhan ribu warga yang terancam akan kehilangan tempat tinggal jika eksekusi dilaksanakan juga bisa menjadi pertimbangan tertentu. Lebih lanjut Adnan mengatakan, meski dinyatakan tidak dapat dilaksanakan, putusan MA tersebut tetap berlaku. Tidak dilaksanakannya putusan itu, katanya, hanya didasarkan pada pertimbangan obyektif di lapangan. Kemudian, advokat berambut putih itu juga menyatakan, perlu dilakukan pencermatan terhadap kesempatan untuk melaksanakan perlawanan hukum oleh warga setempat. Menurut Adnan, kuasa hukum yang membantu warga setempat seharusnya bisa melakukan studi di lapangan, sehingga mendapat bukti yang memungkinkan untuk melakukan upaya perlawanan hukum. Hal serupa juga diungkapkan kuasa hukum warga Meruya Selatan, Amir Syamsuddin. Menurut dia, perlawanan hukum yang akan dilancarkan warga Meruya Selatan terkait rencana eksekusi lahan seluas 78 hektar sah karena sesuai dengan aturan hukum yang ada. "Itu diatur dalam hukum acara perdata," katanya. Menurut Amir, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPerdata) diatur tentang upaya perlawanan hukum pihak tertentu yang merasa dirugikan. "Hal itu ada dalam ketentuan perlawanan terhadap penetapan eksekusi," kata Amir menambahkan. Dalam perlawanan itu warga akan menyertakan sejumlah dokumen kepemilikan tanah dan bangunan yang belakangan ini menjadi sengketa. "Warga punya bukti kepemilikan yang kuat," ujar Amir. Kegelisahan warga Meruya Selatan muncul setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan pemohon eksekusi, PT Portanigra, yang mengklaim lahan 78 hektar di kawasan tersebut miliknya, sehingga akan dilakukan eksekusi lahan yang sebagian sudah dihuni warga. Keputusan eksekusi, merujuk pada permintaan PT Portanigra dalam sengketa melawan H Juhri bin Haji Geni, Muhammad Yatim Tugono dan Yahya bin Haji Geni. PN Jakarta Barat mengabulkan permohonan eksekusi atas nama pemohon, PT Portanigra. Keputusan tersebut ditetapkan oleh PN Jakarta Barat pada 9 April 2007. Putusan yang ditandatangani Ketua PN Jakarta Barat, Haryanto, SH itu berdasarkan putusan PN Jakarta Barat tertanggal 24 April 1997 No.364/PDT/G/1996/PN.JKT.BAR jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tertanggal 29 Oktober 1997 No. 598/PDT/1997/PT.DKI dan jo Putusan Mahkamah Agung tanggal 26 Juni 2001 No: 2863 K/Pdt/1099. Pemilik tanah yang akan terkena eksekusi sebanyak 5.563 kepala keluarga (KK) atau sekitar 21.760 jiwa. Meliputi warga di perumahan karyawan Wali Kota Jakarta Barat, Kompleks perumahan DPR 3, perumahan mawar, Meruya Residence, kompleks perumahan DPA, perkaplingan BRI, kompleks perkaplingan DKI, Green Villa, PT Intercon Taman Kebon Jeruk dan perumahan Unilever.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007