Oleh Maria D. Andriana Jakarta (ANTARA News) - Sudah turun temurun, warga Lamalera di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, dikenal sebagai nelayan pemburu koteklema atau paus jenis sperm whale, yang merupakan sumber hidup mereka. Pekan pertama Mei 2007, warga Lamalera bersuka cita karena nelayan setempat berhasil menangkap tiga koteklema sekaligus. Jumlah tersebut membuat mereka harus bekerja keras untuk segera menjagal dan memrosesnya agar berton-ton daging paus itu terbagi dan tertangani tanpa ada sepotongpun yang tersia-sia. Matahari baru saja muncul ketika para nelayan mulai menguliti dan memotong-motong tubuh koteklema yang ditambatkan di pantai. Ombak laut yang menghempas mulai bercampur darah yang masih terus mengucur dari tubuh tiga mamalia laut itu yang masing-masing berukuran panjang lebih dari 15 meter. Senjata yang mereka gunakan berupa pisau bermata satu yang tipis dan panjangnya kira-kira 20-30 cm bertangkai bambu yang disebut duri. Pisau itu mula-mula digunakan untuk membuka kulit tubuh paus yang berlapis lemak tebal. Kulit luar yang berwarna kelabu muda hingga warna tua dan berlapis lemak berwarna putih itu disayat berbentuk balok-balok untuk kemudian diikat dengan pengait dan tali untuk ditarik menuju pantai berpasir hitam. Sebidang kulit dan lemak berukuran sekitar satu kali dua meter ditarik oleh 5-7 nelayan, karena bobotnya yang amat berat. "Entah berapa puluh kilo ini, kami tak pernah ukur tapi memang sangat berat," kata Halla, nalayan muda yang ikut menarik. Setelah beberapa bidang kulit terbuka, para nelayan mulai menyayat bagian dagingnya yang berwarna cerah dan berserat tak ubahnya daging mamalia darat, seperti sapi, kerbau, kambing, kuda atau rusa. Masyarakat Lamalera sudah mempunyai tatanan baku untuk membagi perolehan mereka, yaitu mengutamakan tuan tanah, pemiliki kapal, lamafa, para matros, dan orang-orang yang dianggap terlibat membantu proses penangkapan. Tubuh koteklema itu sudah mempunyai peta khusus untuk pembagian, misalnya selain daging dan lemaknya, para pemilik kapal berhak mendapatkan bagian dari jantung, sayatan bagian ekor juga diberikan kepada matros yang ikut membunuh paus. Para neklayan dan keluarganya yang sudah mengetahui hak pembagiannya akan menerima bagian mereka di pantai, kemudian mencucinya dengan air laut dan memasukkannya ke ember, bak, atau wadah-wadah lain. Bahkan banyak yang membawa jatahnya tanpa wadah, untuk dijunjung di atas kepala dengan beralaskan gulungan kain. Yanti, gadis remaja, membungkus kepalanya dengan tas plastik agar rambutnya tidak terkena tetesan lemak dan darah dari daging koteklema, karena ia harus bolak-balik berjalan dari rumah ke pantai yang berjarak sekitar satu kilometer untuk mengangkut hasil pembagian untuk keluarganya. "Senang karena mendapat bagian banyak, tetapi capek juga yah..., apalagi setelah ini mesti memotong dan menjemurnya," kata Yanti yang berwajah cerah. Proses memotong daging paus itu seolah berjalan lamban, karena volume tangkapan yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah orang yang harus menanganinya. Sampai tengah hari, belum ada seperempat bagian yang sudah terpotong, sementara matahari semakin tinggi dan para pekerja mulai kelelahan. Tapi mereka tidak mempunyai waktu untuk bersantai, karena daging paus harus segera mereka urus. Di pantai, para nelayan sempat bersitegang ketika melihat rekan mereka duduk minum dan merokok untuk waktu yang menurutnya lama, sementara pekerjaan masih banyak. "Kamu jangan enak-enak saja, ayo kerja!" kata seorang nelayan kepada sesamanya. Sementara itu kaum perempuan pun juga harus mencuci daging-daging itu, meletakkannya di ember dan bolak-balik membawanya pulang. Sejumlah perempuan lain yang suaminya tidak temasuk dalam kelompok matros yang berhasil menangkap koteklema, menunggu di pantai dengan menawarkan komoditas yang laku untuk dipertukarkan dengan daging paus, yaitu tembakau, rokok, kue, dan jagung kering. "Saya membawa jagung untuk tukar, karena saya ingin mengirim dendeng koteklema untuk anak saya yang tinggal di Gombong, Jawa Tengah," kata seorang ibu sambil menjelaskan bahwa sepiring jagung kering dapat ditukar dengan tiga bagian, yaitu dua kerat daging dan satu kerat kulit lemak. "Saya juga ingin membeli bagian jantung untuk digoreng dan dikirim bagi pastor di Larantuka," kata Anna Bataona yang sengaja membakar roti pada malam hari sebelumnya untuk menjadi alat tukar. Dua potong kue dapat ditukar dengan sekerat daging, demikian pula dengan sebatang rokok atau segenggam tembakau. Sore hari itu Anna tersenyum puas karena kue-kue buatannya ludes dan di dapur ia sudah menyimpan setumpuk daging, lemak, dan sebagian jantung. "Nanti digoreng, daging jantungnya bisa dimakan dan minyak bisa diminum untuk obat," katanya. Anna mengaku akan menikmati daging paus pada hari pertama, karena sisanya akan dijemur menjadi dendeng untuk alat tukar dengan bahan makanan yang lain. "Ini untuk bekal hidup selama beberapa bulan, juga nanti bisa menghasilkan uang untuk biaya anak kuliah," katanya. Suaminya dulu juga seorang lamafa, namun terpaksa berhenti karena tangannya harus diamputasi mulai dari pangkal bahu karena terluka ketika sedang menangkap ikan pari (manta). Ia juga tidak lagi bisa melaut. "Karena itu saya mesti membantu saudari saya memotong-motong kulit lemak ini agar dapat dijemur. Kalau kerjaan di sini selesai baru saya pulang untuk mengurus bagian sendiri," kata Prason yang hari itu membantu Anna. Di rumahnya yang terletak di dusun Wutunglolo, desa Lamalera, Clara sibuk melayani para tamu yang membawa jagung untuk ditukar dengan daging paus. "Orang sudah terlalu lama tidak makan daging, jadi tidak sabar menunggung daging kering mereka sudah datang meminta tukar," kata Clara. Ia mengatakan bahwa selama beberapa tahun terakhir para nelayan hanya menangkap sedikit koteklema. Tahun lalu hanya seekor yang didapat. Pada masa sulit itu, warga mengandalkan jenis tangkapan lain yaitu lumba-lumba, pari, dan ikan terbang yang juga dijadikan alat penukar untuk berbelanja keperluan dapur yang lain. Selama dua hari penuh para nelayan menjagal tiga koteklema, dari pagi hingga petang. Bagian kepala dibuka paling akhir yaitu Jumat, karena mereka mendahulukan isi perut yang cepat membusuk. Bau anyir darah dan daging menyebar bukan hanya di pantai, tetapi jauh ke rumah-rumah yang bertengger di atas bukit, terbawa oleh tiupan angin. Di halaman rumah, warga menyiapkan kembali tonggak-tonggak bambu untuk menjemur daging dengan bumbu garam dan kulit lemak yang dibiarkan terbakar sinar matahari guna mengeluarkan minyaknya yang kemudian ditampung dengan talak dari seng yang di ujung bawahnya dialirkan ke botol-botol. Koteklema dikenal memiliki kulit lemak yang tebal untuk persediaan makanan ketika bermigrasi ke selatan yang persediaan makanannya tidak banyak. Minyak koteklema terbanyak berada di bagian kepala dalam sebuah tangki di rongga kepalanya. Pada saat batok kepala dibuka, minyaknya yang cair memancar keluar dan ditampung di ember-ember, sedangkan gumpalan lemaknya bisa dijerang untuk menghasilkan minyak.Minyak paus dipercaya mempunyai khasiat bagi kesehatan, untuk menyembuhkan penyakit dalam, tapi warga Lamalera sangat mempercayai khasiat minyak paus juga sebagai pembersih lambung dan saluran pencernaan. "Kalau minum minyaknya, pantan bisa tiris," katanya dengan tawa geli karena mengaku tidak menemukan cara yang tepat untuk menjelaskan maksudnya. Clara juga mengaku pernah "ngambek" dan "jengkel" ketika seorang kru televisi mendikte jawaban untuk mewawancarainya, dengan menjelaskan bahwa minyak paus berkhasiat sebagai obat kuat. "Dia tidak tahu, tetapi paksa saya bilang begitu," kata perempuan berbibir merah oleh sirih-pinang yang senantiasa dikulumnya. Ia bisa menukar kulit lemak koteklema dengan sejumlah besar sirih pinang. Minyak koteklema jugalah yang membuat satwa laut itu diburu dalam perburuan dengan alat modern oleh kapal-kapal pemburu paus modern di seluruh dunia. Banyak industri mengemas minyak paus sebagai obat yang dulu banyak disebut sebagai minyak ikan, meskipun paus adalah mamalia sejati. Koteklema juga mempunyai hasil lain yang menakjubkan, yaitu cairan ambergris yang dimanfaatkan untuk industri parfum sebagai pengawet bau. Ambergris terbentuk oleh endapan sisa makanan koteklema yang paling digemari, yaitu cumi-cumi raksasa, khususnya bagian kepala yang keras dan gagal dicerna. Sementara proses pengambilan daging berlangsung, warga juga sudah mulai menjemur daging dan kulit lemak. Aroma darah dan daging yang mulai mengering dan minyak yang mulai menetes, memenuhi udara di kampung kecil yang diduga menjadi satu-satunya perkampungan nelayan pemburu paus di Indonesia. Perkampungan nelayan di jalur migrasi paus di NTT cukup banyak, tetapi belum pernah terdengar ada yang menjadi pemburu paus seperti warga Lamalera. "Mereka berburu secara tradisional dan mempergunakanya untuk dikonsumsi, bukan untuk kepentingan niaga apalagi industri, maka tidak terkena larangan perburuan paus," kata Tri Agung Rooswiadji, wakil direktur program maritim WWF. Tri Agung Rooswiadji menyebutkan, WWF telah menyiapkan program pelatihan konservasi laut untuk para pelajar di Kabupaten Lembata, Alor, dan Solor di NTT agar masyarakat dapat mengolah dan mengelola sumber daya laut yang kaya dengan tetap menjaga kelestariannya. Kesibukan yang beruntun dan bekerja di ruang terbuka dalam cuaca panas, membuat banyak warga yang terserang demam dan kelelahan pada hari ketiga. "Ini sudah biasa, selalu kita demam jika sudah mendapat koteklema," kata Elias Blio, seperti memaklumi gejala alami yang mengikuti kebiasaan mereka. Di tengah kelelahan dan kelimpahan berkah daging koteklema itu, akankah nelayan melaut jika tidak-tiba terdengar teriakan "baleo...baleo...? "Tentu saja, terutama matros dari pledang yang kemarin belum mendapatkannya," jawab Elias dengan antusias. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007
saya ingin mengangkatnya sbg laporan akhir saya di D4 Pariwisata di Bali.
Mohon bantuannya...