Oleh Maria D. Andriana Jakarta (ANTARA News) - "Kalau orang Lamalera mau makmur, harus tahan dengan bau seperti ini," kata Prason Beding, sambil memotong-motong kulit dan lemak koteklema, paus jenis sperm whale, yang baru ditangkap para nelayan Desa Lamalera, Rabu, 2 Mei 2007. Bau anyir darah dan daging menyebar bukan hanya di pantai, tempat Prason bekerja, tetapi jauh ke rumah-rumah yang bertengger di atas bukit, terbawa oleh tiupan angin. Prason adalah nelayan, yang seperti warga lain di kampung Lamalera, di pesisir selatan Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur (NTT), pekan lalu, sangat sibuk mengurus perolehan tiga koteklema sekaligus, yaitu memotong daging paus dan menjemurnya menjadi dendeng. Daging koteklema dan minyaknya merupakan jaminan hidup bagi pemiliknya karena selain dikonsumsi sendiri juga bisa dipertukarkan dengan bahan makanan seperti jagung, padi, pisang, ubi, bahkan sirih-pinang yang merupakan "makanan" tradisional penduduk setempat. Mendapat tiga koteklema pada hari Rabu yang cerah itu dipercaya warga merupakan berkah dan pertanda nasib baik. Pasalnya, sudah dua-tiga tahun terakhir perolehan paus yang menjadi hasil utama nelayan Lamalera, bisa dibilang tidak ada. Sepanjang tahun 2006 seluruh desa hanya mendapat satu paus. "Paceklik" hasil laut itu membuat masyarakat menyadari kelalaian mereka, yaitu tidak menyelenggarakan pesta adat ataupun misa secara Katolik (agama yang dianut warga setempat) serta banyak warga yang hidup tidak berdamai satu dengan yang lain. Memasuki musim lefa atau musim berburu paus pada tahun ini yang berlangsung dari Mei hingga Oktober, warga menggelar ritual tradisi dan keagamaan. Pada 30 April pagi, serombongan warga melakukan ritual tradisi di batu sesembahan yang bentuknya menyerupai paus dan berjiarah kubur leluhur. Pada malam hari menjelang bulan purnama, warga mengikuti misa arwah untuk mendoakan para nelayan dari kampung mereka yang gugur di laut ketika mencari nafkah. Misa dilakukan di pantai Lamalera, tepatnya di depan kapela Santo Petrus, di tengah alam terbuka dan diiringi deburan ombak, doa-doa dipanjatkan dipimpin pastor Yakobus. Misa ditutup dengan penyalaan lilin dan tabur bunga ke laut, khususnya dilakukan oleh anak-cucu, janda dan kerabat para nelayan yang meninggal dalam kecelakaan di laut; tenggelam, digigit hiu, dan kecelakaan lain. Anna K Bataona, malam itu, mengirim bunga dan lilin dalam jumlah yang relatif banyak dibandingkan dengan warga yang lain, karena ia mewakili suaminya, mendoakan keluarga suaminya dari klan suku Batafor yang hilang beserta perahu mereka. Korban diperkirakan hampir 20 orang. Nama-nama korban dari awal abad ini, tercatat rapi dalam dokumen mereka, disebutkan peristiwa dan tanggal kematiannya untuk didoakan bersama. Ritual tradisional dan keagamaan masih berlanjut pada Selasa pagi dengan misa Lefa dan pemercikan air suci ke perahu-perahu "pledang" yang merupakan kendaraan untuk melaut, tali baleo dan juga tombak tempuling. Dalam upacara tersebut, satu pledang diluncurkan secara simbolis untuk melaut, sebagai pembuka masa lefa. Sore harinya masyarakat juga melakukan upacara adat perdamaian antar suku dan ditutup dengan seremoti atau jamuan bersama. Mereka memakan jagung titi, yaitu jagung yang dipipihkan seperti emping dan minum tuak. "Kita sudah berdamai, pasti musim lefa kali ini mendapat banyak," kata Elia Blio beding. Banyak tangkapan menurut ukuran penduduk setempat adalah sekitar 30-50 ekor paus dalam setahun musim lefa. Doa terkabul Rabu pagi itu langit biru dan cerah berhiaskan awan bergumpal-gumpal yang oleh penduduk dijuliki awan koteklema, pertanda hadirnya mamalia laut di perairan Laut Sawu yang membentang di muka desa. Benar saja, waktu belum mencapai pukul tujuh pagi, banyak orang yang sedang menikmati teh atau bahkan belum sempat mandi, ketika kesunyian desa dihentak oleh suara bersahut-sahutan "baleo... baleo...baleo..." Teriakan itu merupakan kabar bahwa ada yang melihat paus melintas, dan artinya nelayan harus siap menuju laut untuk memburunya. Serentak dengan teriakan itu, para nelayan pun berlarian menuju pantai Lamalera, tempat mereka menambatkan pledang yang dinaungi dengan atap bambu dan daun lontar. Para awak perahu yang disebut matros akan menuju ke pledang milik klan masing-masing, jika dalam satu pledang sudah ada jumlah matros yang cukup, sekitar 10-12 orang dan ada minimal seorang lamafa atau juru tikam, mereka segera meluncurkan perahu ke laut. Mereka mendayung dan mengembangkan layar, mengejar kawanan koteklema yang terlihat menyembur-nyemburkan air untuk membuang nafas atau menampakkan pungungnya. Laut Sawu mempunyai kedalaman lebih dari seribu meter dan merupakan jalur migrasi kawanan koteklema. Kadang-kadang paus jenis orca atau yang oleh warga disebut seguni muncul di Laut Sawu dari antartika yang dingin melintasi Pasifik menuju perairan Samudra Hindia hingga Australia, serta untuk kembali dari selatan ke utara, kata Tri Agung Rooswiadji dari World Wild Life (WWF) Jakarta. Masa migrasi ini yang menjadi masa berburu paus. Perburuan koteklema apalagi seguni, penuh risiko, perahu terbalik, tali dan lamafa terseret paus ke kedalaman laut atau ke perairan yang jauh antara beberapa jam hingga beberapa hari. Namun para lamafa dan matros Lamalera menunjukkan ketrampilan mereka. Dengan peralatan tradisional berupa tombak besi bertangkai bambu yang disebut tempuling, seorang lamafa akan terjun untuk menikamkan tombaknya ke tubuh paus yang bergerak di depan perahu. Penikaman akan dilakukan beberapa kali oleh lamafa yang lain, termasuk penyembelihan untuk mencabut nyawa sang mamalia. Pada proses ini adakalanya hewan buruan itu tidak segera mati, ada yang menyeret pledang sampai jauh atau ada yang mengamuk dan menggulingkan pledang. Koteklema dikenal memiliki badan yang besar, ukuran panjangnya berkisar 15 meter hingga 20 meter. Hewan itu berpunggung lebar, mempunyai mulut dengan rahang bawah yang kecil serta bergigi, berbeda dengan paus balin yang tidak bergigi. Pada buku serial Pustaka Alam, Life seri Laut disebutkan, peneliti di Inggris pernah mengukur, pada paus berbadan besar, bobotnya bisa mencapai sekitar lima ton untuk tiap meter, dan mampu berenang dengan kecepatan sekitar 18 km/jam atau 10 knot selama seharian penuh di depan perahu atau kapal yang akan menangkapnya. Jenis koteklema merupakan paus yang melegenda melalui cerita fiktif Moby Dick. Itu sebabnya ada cerita pledang yang terbalik karena tali tempuling yang menancap di tubuh koteklema menyeret pledang yang tidak segera mati. Dalam perburuan Rabu itu, seekor koteklema yang dihadang tiga pledang sempat membuat satu perahu terguling meskipun seluruh matros bisa selamat. Para matros bahkan berjuang membinasakan buruan mereka terlebih dulu sebelum membalikkan kembali posisi pledang yang terguling itu. Ketika koteklema tangkapan sudah berhasil ditaklukkan, badannya yang besar itu diikat di samping pledang, siap ditarik ke darat, dan jika belum juga mati, ia akan disembelih agar darahnya cepat terkuras. Para nelayan hari itu menangkap tiga koteklema dan dengan mudah menaklukkan dua koteklema, salah satunya berukuran lebih dari 20 meter. Namun, ada seekor yang cukup ulet sehingga ketika hari sudah menjelang sore baru tertangani dan para nelayan tidak mempunyai waktu untuk mengarungi laut menuju kampung halaman karena air surut. "Mereka terpaksa mendaratkan di pantai terdekat di kampung Luki, pulau Lembata dan menunggu air pasang untuk pulang," kata nelayan bernama Eman. Pledang dan koteklema itu masuk ke kampung Lamalera ketika air laut sedang naik, lewat tengah malam. Selama proses penangkapan berlangsung, para perempuan, istri, ibu atau saudari para matros menyiapkan bekal makanan, umumnya nasi dan ikan goreng atau bakar serta sambal serta air tawar untuk dikirim ke lokasi perburuan dengan perahu motor bermesin. Bekal-bekal dikemas dalam kotak makanan terbuat dari plastik atau kaleng, dibungkus kain dan diselipi daun lontar bertuliskan nama masing-masing. "Ini nasi merah dan ikan goreng untuk kakak saya dan bapak," kata Ina Beding yang menyiapkan dua bekal. Ina merasa yakin perahu bapaknya mendapatkan tangkapan karena pagi harinya ada nelayan yang memukat ikan terbang, melihat pledang yang dinaiki bapaknya sudah dekat dengan hewan buruannya. Para matros akan menyantap hidangan itu dalam perjalanan penuh kemenangan menuju kampung mereka, tempat anak-anak dan para istri menunggu sambil bercanda di pantai. Apabila masa penantian itu berlangsung hingga malam hari, bahkan keesokan harinya, para istri dan anak-anak banyak yang menginap di pantai di bawah naungan "hanggar" pledang dan menggunakan obor sebagai penerang. Sekitar sore hari, dua koteklema buruan sudah masuk, anak-anak langsung berlairan terjun ke laut dan berenang, menunggangi punggung paus dan bermain-main, sementara para matros mengikat tubuh mamalia raksasa itu ke bebatuan pantai agar tidak hanyut tersapu ombak. Darah segar terus mengucur dari tubuh paus yang biasanya akan dipotong-potong untuk dibagi dagingnya pada keesokan harinya. "Tubuhnya terlalu besar, hari sudah segera gelap, jadi besok pagi-pagi mulai di potong," kata Yohanes, pemuda yang ikut mengirim bekal makanan bagi nelayan. Malam itu pantai terus ramai, penduduk bersuka ria membincangkan ketegangan dan proses penangkapan koteklema hari itu, sambil merokok dan minum tuak. Ada sekitar 10 pledang yang memburu kawanan kotklema pagi itu, dan mereka berhasil menangkap tiga, jumlah yang cukup besar yang diperoleh pada hari kedua musim lefa. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007