Nairobi (ANTARA News) - Jepang pada Senin mulai menarik pasukannya dari tugas Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam perang berkepanjangan di Sudan Selatan, bertepatan dengan peningkatan kekerasan dengan pembunuhan digambarkan sebagai pemunahan, kata pejabat badan dunia itu.
Satuan berkekuatan 350 anggota Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) itu, yang bermarkas di ibukota Sudan Selatan, Juba, selama lima tahun belakangan memberikan bantuan sebagian besar berupa pembangunan prasarana.
"Kelompok pertama berangkat pada hari ini," kata juru bicara penjaga perdamaian PBB atau UNMISS Daniel Dickinson kepada Reuters sebelum pasukan penjaga perdamaian (PKO) itu menaiki penerbangan mereka di bandar udara antarbangsa Juba.
Dickinson mengatakan satuan Jepang akan berangkat dalam tiga gelombang dan kelompok berangkat pada Senin terdiri atas 68 tentara PKO.
Kekerasan mematikan yang sering dipicu oleh kebencian etnis melanda Sudan Selatan sejak 2013 ketika pertempuran pecah antara pasukan yang setia kepada Presiden Salva Kiir dan musuh politiknya Riek Machar yang dipecat sebagai wakil presiden.
Kesepakatan perdamaian pada 2015 mengakhiri perang itu dan Machar dikembalikan ke jabatannya sebagai wakil presiden pada awal tahun lalu, namun kebencian keduanya akhirnya berujung pada pertempuran baru pada bulan Juli 2016.
Babak kekerasan masa khususnya di daerah ekuator dari Sudan Selatan telah berkembang, dengan kesaksian dari para penyintas melaporkan bahwa pasukan pemerintah menyerang kota-kota dan melakukan penembakan secara brutal.
Inggris menggambarkan pembunuhan dan kekejaman lainnya di Sudan Selatan sebagai genosida atau pemusnahan masal meskipun PBB belum memutuskan pandangannya.
Juru bicara pemerintah Sudan Selatan, Ateny Wek Ateny, mengatakan mereka menerima keberangkatan pasukan Jepang dengan alasan pemerintah Sudan Selatan mampu mengontrol negaranya.
JSDF terlibat dalam enam lokasi PKO PBB yang tersebar di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan, Asia Tengah, Asia Tenggara, dan Amerika Latin.
Tugas PKO, yang masih dijalankan Jepang, antara lain di Dataran Tinggi Golan (UNDOF) sejak Februari 1996, Nepal (UNMIN) sejak Maret 2007, Haiti (MINUSTAH) sejak Februari 2010, dan terakhir di Sudan Selatan (UNMISS), yang berawal pada Oktober 2008 dan berakhir bulan ini, demikian dilansir Reuters.
(R029/B002)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017