Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla menepis kekhawatiran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang melihat situasi saat ini mirip dengan situasi menjelang krisis 10 tahun lalu, sehingga apabila ekonomi global tiba-tiba bergejolak dikhawatirkan Indonesia akan mengalami krisis kembali. "Jangan khawatir. Banyak uang masuk khawatir, tidak ada uang masuk juga kawatir, gimana ini. Yang paling penting, kita harus menanggapinya secara proporsional dengan baik," kata Wapres Jusuf Kalla, seusai shslat Jumat, di Jakarta, Jumat. Menurut Wapres, jika dilihat dari suasannya memang mirip ketika akan krisis, namun kondisi negara Indonesia saat ini sudah sangat jauh berbeda. Wapres mencontohkan jika pada saat krisis cadangan devisa yang dimiliki hanya sekitar 20 milyar dollar AS, sekarang ini cadangan devisa yang ada sekitar 55 milyar dollar AS. Dengan demikian, tambahnya, jika 'hot money' tersebut keluar dengan tiba-tiba, tidak akan begitu menggoyang perekonomian nasional. Wapres juga menjelaskan kenapa dahulu terjadi krisis, salah satunya sebab dana-dana yang masuk (hot money) itu banyak digunakan untuk sektor-sektor konsumerisme atau luxurius, bukan untuk pembangunan. "Dan dari segi pemerintah (waktu itu) tiba-tiba kita menjamin semua bank-bank, kita jamin total. Sekarang pemerintah tidak akan menjamin bank-bank. Jadi sekarang tidak akan seenaknya bank-bank akan membebani APBN," kata Wapres dengan nada meninggi. Oleh karena itu, dana-dana yang masuk tersebut harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan. Disisi lain, katanya, saat ini utang pemerintah menurun. Data lainnya, tambah Wapres, pada saat krisis ekspor nasional baru mencapai 40 milyar dolar AS per tahun, sedangkan saat ini telah mencapai 100 milyar dollar. "Jadi saya yakin ini (hot money) tidak akan menimbulkan apa-apa, asal kita manfaatkan betul dana-dana itu. Dan sekiranya pun terjadi, pemerintah tidak segegagah dulu menjamin apa saja," kata Wapres. Menurut Wapres, apa yang terjadi saat ini karena situasi dunia yang sedang mengalami likuiiditas yang tinggi akibat ekonomi yang tumbuh. Saat ini, katanya, telah terjadi pertumbuhan ekonomi yang kuat di negara-negara Timur Tengah karena minyak, China juga punya cadangan devisa satu triliun dollar serta membaiknya ekonomi Eropa dan sebagainya. Setiap surplus likwiditas itu, tambahnya, masuknya ke negara-negara yang secara ekonomi prospeknya bagus. Karena itu, masuk ke ASEAN, India, dan Indonesia. Karena tak mungkin dana masuk ke negara-negara yang propeknya sulit atau jelek. "Ini artinya propek ekonomi Indonesia itu bagus menurut pandangan investor," kata Wapres. Masuknya dana tersebut bisa dilihat dari beberapa indikator, seperti harga saham naik. Namun sebagai akibat lainnya, uang masuk ke Bank dan ditanamkan ke SBI. "Ini akibat buruknya kalau kita telat antisipasinya. Dulu SBI tinggi, sekarang SBI sudah turun 8,75 persen nanti turun lagi turun lagi, sehingga yang masuk SBI tak sebesar itulah," ujarnya. Untuk itu pemerintah telah membuat langkah-langkah, di antaranya memanfaatkan moment masuknya dana-dana ini digunakan ke sektor-sektor investasi jangka panjang, infrastruktur dan sebagainya.Keluar silahkan Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan bahwa situasi saat ini mirip dengan situasi menjelang krisis 10 tahun lalu, sehingga harus ada kesiapan jika ekonomi global tiba-tiba bergejolak. "Situasi sekarang sudah agak mirip dengan situasi menjelang krisis, di mana ada capital inflow cukup besar dan banyak negara yang mengalami apresiasi mata uang seperti Thailand dan India," kata Sri Mulyani. Menurut Menkeu, negara-negara di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara (ASEAN) harus belajar banyak dari pelajaran krisis Asia yang terjadi mulai sekitar 10 tahun yang lalu. Kebijakan nilai tukar sangat sensitif di Asia Tenggara, sehingga harus diwaspadai sejak awal. "Kesiapan negara-negara kawasan Asia menghadapi kemungkinan kalau tiba-tiba ekonomi global bergejolak merupakan salah satu agenda yang dibahas dalam Sidang Tahunan ke-40 Bank Pembangunan Asia (ADB) beberapa waktu lalu di Jepang yang juga dihadiri delegasi Indonesia," kata Sri Mulyani. Menurut Wapres kondisi yang dimaksud oleh Menkeu Sri Mulyani adalah banyaknya dana yang masuk, namun hal itu bukan berarti negatif. "(Baru) Negatif kalau itu dimasukkan ke SBI. Sangat negatif karena itu nanti pemerintah yang membayarnya," katanya. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007