Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah menyatakan bahwa kondisi perekonomian nasional saat ini menunjukkan adanya kondisi perbaikan dan jauh dari perkiraan akan kembali dilanda krisis.
"Berbagai indikator menunjukkan kepada kita bahwa yang dipikirkan akan terjadi kembali krisis adalah jauh panggang dari api," kata Burhanuddin Abdullah usai 'breakfast meeting' di Gedung Departemen Keuangan, Jakarta, Jumat.
Hadir juga dalam pertemuan itu Menko Perekonomian Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.
Menurut Burhanuddin, dari penilaian terakhir yang dilakukan BI melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) belum lama ini dan penilaian bersama dengan pemerintah, saat ini sama sekali tidak ada perkiraan akan terjadi krisis.
"Kita sependapat bahwa jauh sekali dari pikiran-pikiran adanya krisis itu. Itu sama sekali tidak ada," katanya.
Yang ada, lanjutnya, justru optimisme dalam perekonomian nasional bahwa pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi daripada yang diperkirakan semula. Jika BI semula memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2007 mencapai 5,4 persen, setelah dikaji kembali, pertumbuhan sebesar 5,7 hingga 5,9 persen, bukan sebuah kemustahilan.
"Triwulan II bahkan lebih bergerak lagi. Ini sesuatu yang saya kira bisa menunjukkan kepada kita bahwa yang dipikirkan akan terjadi krisis, jauh panggang dari api," katanya.
Bahwa saat ini terjadi pemasukan modal (capital inflow) sangat besar, menurut dia, karena memang kondisi global seperti itu. Ada perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju, sementara ada jumlah uang yang sangat besar yang mencari tempat baru, termasuk ke Indonesia. Indonesia hanya salah satu dari negara yang mendapat aliran modal tersebut.
Mengenai antisipasi 'capital inflow' berbalik arah menjadi 'capital outflow', Burhanuddin mengatakan antisipasi sudah dilakukan sejak lama dan tidak hanya dilakukan secara nasional tetapi juga regional.
"Secara regional, kita sudah beberapa tahun terakhir ini mengadakan semacam swap arrangement antar berbagai negara untuk membuat pertahanan semakin kuat," katanya.
Beberapa waktu lalu, juga ada upaya untuk memperkuat bilateral swap arrangement menjadi multilateral swap arrangement, dalam artian membentuk cadangan devisa antar berbagai negara di Asia, tetapi tetap masih dikelola oleh negara masing-masing.
"Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi gejolak," tambahnya.
Siap dengan berbagai antisipasi
Secara nasional/domestik, menurut Burhanuddin, sudah sejak lama Indonesia melakukan persiapan-persiapan ke arah upaya untuk memperkuat ketahanan perekonomian.
Secara institusi, perekonomian nasional sudah lebih tahan dibanding waktu-waktu yang lalu. Kalau nanti ada pembalikan capital inflow, tidak akan mengganggu institusi-institusi ekonomi yang ada, termasuk perbankan.
"Kita sudah siap dengan berbagai antisipasi, mekanisme antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI juga sudah siap sejak lama dengan financial safety net," katanya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan masalah krisis itu merupakan masalah regional, sedangkan kondisi perekonomian dalam negeri sudah lebih baik.
"Di dalam negeri sendiri, kondisi kita sudah jauh lebih baik, seperti neraca pembayaran, kondisi APBN, dan perbankan, sudah lebih baik," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007