Bangkok (ANTARA News) - Penguasa Thailand pada Selasa menolak tawaran syarat dari kelompok utama pemberontak di Thailand selatan untuk menggelar pembicaraan resmi perdamaian.
Barisan Revolusi Nasional (BRN) pada Senin menyatakan akan bersedia memasuki perundingan resmi tentang pemberontakan puluhan tahun itu jika syarat tertentu dipenuhi pemerintah Thailand.
Mereka antara lain menuntut penengahan oleh pihak ketiga, yang netral, dan kesertaan pengamat asing.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menolak tawaran itu dan menyatakan pembicaraan perdamaian adalah masalah dalam negeri dan tidak memerlukan penengahan atau pengamatan asing.
"Mengapa mereka perlu menengahi? Tidak dapatkah kita menyelesaikan masalah kita? Jika mereka datang, apa jaminan bahwa mereka akan memahami masalahnya?" kata Prayuth.
Pemberontakan di wilayah berpenduduk sebagian besar suku Melayu di provinsi selatan -Yala, Pattani dan Narathiwat- menewaskan lebih dari 6.500 orang sejak meningkat pada 2004, kata kelompok pemantau mandiri Deep South Watch.
Prayuth menyatakan perundingan akan berlanjut di Malaysia dengan kelompok berbeda, Mara Pattani, namun pakar kawasan mengatakan bahwa unsur pemberontak sebagian besar terasingkan tidak memiliki kekuatan nyata di lapangan.
"Dalam jangka panjang, jika pemerintah menginginkan perdamaian abadi di wilayah itu, mereka harus menyertakan BRN dalam setiap perundingan," kata Srisompop Jitpiromsri, direktur Deep South Watch.
Terjadi peningkatan kekerasan pada bulan ini, termasuk yang polisi gambarkan sebagai serangan terbesar sesudah beberapa tahun dan 23 serangan tergalang pada Jumat, sehari setelah Thailand mengesahkan undang-undang dasar baru.
Tidak ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut dan tidak ada laporan tentang korban jiwa.
Yala, Pattani dan Narathiwat adalah bagian dari Kesultanan Melayu sebelum dicaplok Thailand pada 1909.
Pemilih di bagian berpenduduk paling banyak suku Melayu itu adalah beberapa di antara yang menolak undang-undang dasar rancangan tentara pada penentuan pendapat rakyat pada tahun lalu.
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017