"Saya tidak mendengar adanya gemuruh atau suara apa pun sebelum insiden," ujar Sarinah, istri Paidi, yang menjadi salah satu korban jiwa pada peristiwa tersebut ketika ditemui di kediamannya di Dusun Njati, Senin malam.
Pada saat kejadian sekitar pukul 14.00 WIB, ia dan suaminya mengaku sedang berada di sawah ketika hendak pulang, namun belum lama tiba-tiba tanah sudah menutup sawahnya.
"Suami saya masih di sawah, dan saya menoleh ke belakang sudah tertimbun serta terbawa tanah," ucap ibu dia anak itu sembari terisak menahan tangisnya.
Salah satu saksi lainnya, Joko, mengakui hal sama dan terkejut karena tiba-tiba tanah longsor datang secara cepat.
Baca juga: (70 keluarga terdampak longsor Nganjuk diungsikan)
Baca juga: (Pencarian korban longsor Nganjuk difokuskan satu titik)
"Saya tidak tahu ada tanah datang, ternyata longsoran sudah dekat dan saya lari menyelamatkan diri. Syukurlah saya masih bisa selamat," kata pria yang saat kejadian kakinya sempat tertimbun tanah hingga selututnya itu.
Selain itu, Warsinem, yang saat kejadian juga berada di sawah tidak jauh dari lokasi kejadian hilangnya Paidi mengaku tidak mendengar adanya suara gemuruh tanah longsor.
"Saya saat itu juga mau pulang, terus mendengar banyak orang teriak-teriak, kemudian lari. Saudara-saudara saya banyak saat itu dan semua lari," katanya.
Musibah tanah longsor terjadi di Dusun Dolopo, Desa Kepel, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, tepatnya di area Gunung Wilis dengan ketinggian sekitar 10 meter, Minggu (9/4).
Longsor terjadi dengan luas sekitar 3 hektare, sementara secara keseluruhan yang rawan ada sekitar 7 hektare yang di lokasi mayoritas ditanami cengkih serta mangga.
Pewarta: Fiqih Arfani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017