Hasilnya, kami sudah mencapai progres 95 persen. Dari sekitar 2.500 tower yang akan dibangun, sebanyak 2.200-an tapak tower berhasil kami bebaskan. Kami menargetkan, pada April ini, semuanya bisa dituntaskan."
Pekanbaru (ANTARA News) - PT PLN (Persero) menyatakan proyek "tol listrik" berupa pembebasan lahan untuk pembangunan sekitar 2.200 tapak menara untuk jaringan listrik di Riau sudah mencapai 95 persen di lima kabupaten/kota hingga Maret 2017.
"Lima kabupaten yang telah dituntaskan proses pembebasan lahan untuk tapak tower itu adalah Kota Pekanbaru, Kabupaten Siak, Pelalawan, Kuansing dan Rohul. Artinya progres pembebasan lahan sudah mencapai 95 persen," kata Manajer Proyek Pembangunan Jaringan Listrik Riau-Kepri Rachmat Basuki kepada wartawan di Pekanbaru, Senin.
Meski begitu, ia mengatakan masih terdapat kendala pembebasan lahan untuk pembangunan 107 tapak menara (tower) di lima Kabupaten/kota lainnya. "Saat ini, pembebasan lahan masih terganjal di Kota Dumai, Kabupaten Rohil, Inhu, Inhil dan Kampar," ujarnya.
Menurut dia, pembebasan lahan untuk tapak tower adalah faktor krusial untuk pembangunan jaringan listrik di Riau sebabnya satu saja tapak tower tak terbebaskan, pembangunan jaringan listrik tak bisa dilakukan.
Karena itu, katanya, sejak 2015 pihaknya intensif menggelar sosialisasi dan berupaya mengomunikasikan ganti rugi pembebasan lahan kepada para pemilik tanah. Pertemuan dan musyawarah pun beberapa kali dilaksanakan. "Sayangnya, kebanyakan dari mereka menolak ganti rugi yang kami tawarkan," kata Rachmat.
Ia juga menjelaskan, bila proses komunikasi, musyawarah dan Mediasi tak kunjung menghasilkan titik temu, maka pihak PLN akan mengambil langkah konsinyasi alias penyelesaian proses pembebasan dan ganti rugi lewat proses sidang di pengadilan. "Kita akan terus berusaha untuk berkomunikasi dan musyawarah untuk mencari solusi atas masalah ini. Konsinyasi adalah opsi terakhir," katanya.
Sikap para para pemilik tanah yang enggan membebaskan lahan mereka, sangat disayangkan oleh Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Abdur Rab, Muhamad Zainuddin S.Ip. MA.
Ia mengatakan seharusnya para pemilik lahan berlapang dada untuk menerima ganti rugi, sebab pembangunan jaringan listrik tersebut berguna untuk kemaslahatan umum di Provinsi Riau.
"Para pemilik lahan harus memahami bahwa negara berkuasa atas air, tanah dan kekayaan yang ada di dalamnya. Sebenarnya atas nama kepentingan negara dan kemaslahatan umum, negara bisa melakukan apa saja," sebutnya.
Selain itu, Zainuddin mengkritisi sikap pemerintah setempat yang terkesan tak mau tahu dengan proses pembangunan jaringan listrik tersebut.
"Pembangunan jaringan listrik berguna untuk kepentingan masyarakat. Banyak manfaat dan keuntungan yang didapat atas pembangunan itu. Seharusnya pemerintah daerah proaktif mendukung dan mencarikan solusi atas persoalan lapangan yang dihadapi PLN. Salah satu di antaranya adalah dalam proses pembebasan lahan, katanya.
Lebih dari itu, Zainuddin menilai, minimnya peran pemerintah dalam percepatan pembangunan jaringan listrik di Riau menjadi preseden akan ketidakpedulian mereka terhadap kepentingan masyarakat banyak. "Mereka (Pemda) adalah pemegang otoritas setempat. Dengan otoritas yang dimiliki, seharusnya pembangunan jaringan listrik bisa berjalan lancar dan tanpa hambatan," katanya.
Pembangunan jaringan tol listrik di Riau sebenarnya sudah dimulai sejak 2012 hingga akhir 2015 silam. Proses pekerjaan dimulai dengan pembebasan lahan. Dalam rentang waktu empat tahun, hanya terselesaikan pembebasan 384 tapak "tower". Pada penghujung 2015 hingga pertengahan 2016, proyek ini sempat terhenti.
Pada akhir 2016, Presiden Jokowi memerintahkan penuntasan tol listrik di beberapa daerah. Termasuk di Riau yang menjadi bagian dari jaringan tol listrik Sumatera. Proyek yang awalnya berjalan lambat kembali digesa.
"Hasilnya, kami sudah mencapai progres 95 persen. Dari sekitar 2.500 tower yang akan dibangun, sebanyak 2.200-an tapak tower berhasil kami bebaskan. Kami menargetkan, pada April ini, semuanya bisa dituntaskan," kata Rachmat.
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017