Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi mengatakan suku bunga acuan BI, BI Rate, pada akhir tahun ini diperkirakan akan dapat mencapai 8 persen, didukung oleh membaiknya indikator ekonomi makro Indonesia, seperti inflasi yang terus bergerak turun dan rupiah yang menguat terhadap dolar AS "Penurunan BI Rate hingga mencapai 8 persen pada akhir tahun ini sangat memungkinkan, menyusul terus merosotnya laju inflasi Indonesia," kata ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, di Jakarta, Kamis. Menurut dia, Bank Indonesia (BI) pada bulan depan kemungkinan akan menurun bunga BI Rate sekitar 25 basis poin dari 8,75 persen menjadi 8,50 persen. Penurunan BI Rate sekitar 25 basis poin ini, karena dihambat oleh kenaikan harga berbagai bahan kebutuhan pokok (sembako), seperti harga minyak goreng, sehingga laju inflasi yang cenderung menguat pada bulan depan stabil, katanya. BI Rate, lanjut Fauzi, dalam semester kedua tahun ini akan kembali turun sebesar 50 basis poin dari 8,50 persen menjadi 8 persen, yang dipicu oleh merosotnya laju inflasi pada semester kedua. "Kami optimis BI Rate akan mencapai posisi 8 persen pada akhir tahun ini sejalan dengan makin membaiknya pertumbuhan ekonomi nasional," katanya. Ia mengatakan ruang untuk penurunan suku bunga acuan tersebut masih cukup besar melihat dinamika pertumbuhan ekonomi. "Kalau dinamika pertumbuhannya seperti ini, kemudian likuiditas internasional yang begitu banyak dan target inflasi kemungkinan tercapai, saya kira ruang untuk penurunan masih besar," katanya.Rupiah Mengenai rupiah, ia mengemukakan kenaikan rupiah hanya sementara yang berlangsung dalam dua bulan, kemudian kembali melemah hingga kembali dalam kisaran antara Rp8.500 hingga Rp9.000 per dolar AS. Penguatan rupiah ini karena BI membiarkan mata uang lokal itu terus menguat, seiring dengan besarnya dukungan pasar terhadap rupiah, katanya. Rupiah, lanjut Fauzi, saat ini cenderung masih bisa menguat lagi, apalagi BI menyatakan rupiah akan stabil pada kisaran antara Rp8.500 hingga rp9.500 per dolar AS. Karena itu, investor asing makin aktif membeli rupiah, karena mereka yakin BI tidak akan melakukan intervensi pasar apabila rupiah masih dalam kisaran tersebut, katanya. Kenaikan rupiah, menurut dia, memberikan dampak negatif terhadap eksportir, karena produk yang dijual ke luar negeri harganya menjadi lebih mahal, sedang importir memperoleh keuntungan dengan membaiknya rupiah. Namun kondisi kenaikan rupiah akan kembali normal dalam dua bulan mendatang, katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007