Cilacap (ANTARA News) - Nama Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang dikenal sebagai pulau penjara dan tempat eksekusi hukuman mati ternyata mampu membuat kapok para penunggak pajak.
Hal itu terlihat dari penyanderaan (gijzeling) terhadap tiga penunggak pajak di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu, Pulau Nusakambangan, dua di antaranya sudah bebas setelah melunasi utang pajaknya.
Bahkan sejak Lapas Batu dijadikan sebagai tempat penyanderaan, sejumlah penunggak pajak dikabarkan berbondong-bondong mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama terdekat untuk menyelesaikan utang pajaknya karena khawatir akan di-"gijzeling" di Nusakambangan.
Lapas Batu untuk pertama kali menjadi tempat "gijzeling" pada 20 Desember 2016.
Penunggak pajak yang pertama kali disandera di Lapas Batu berinisial BH yang mempunyai tunggakan pajak sebesar Rp839.022.023 untuk ketetapan pajak 2008 yang diperiksa pada 2011.
Pengusaha diler dan pengembang itu ditangkap petugas KPP Pratama Cilacap di kantornya pada Selasa (20/12), pukul 08.00 WIB, dan langsung disandera di Lapas Batu setelah menjalani pemeriksaan kesehatan.
Setelah menjalani penyanderaan selama sembilan hari, BH akhirnya membayar utang pajaknya sehingga bebas dari "gijzeling".
Kesuksesan KPP Pratama Cilacap dalam penyanderaan terhadap BH sehingga pengusaha itu melunasi utang pajaknya menjadikan KPP Pratama daerah lain berminat untuk melakukan "gijzeling" di Nusakambangan.
KPP Pratama Raba Bima, Nusa Tenggara Barat, pada 21 Maret 2017, memindahkan seorang penunggak pajak berinisial R dari Lapas Mataram ke Lapas Batu, Nusakambangan.
Di Lapas Batu, R menempati ruang isolasi berukuran 1,5x2,5 meter yang pernah ditempati mendiang Freddy Budiman sebelum menjalani eksekusi hukuman mati.
Baca juga: (Penunggak pajak di NTB dipindah ke Lapas Nusakambangan)
"Penyanderaan terhadap R di Nusakambangan dilakukan karena yang bersangkutan tidak memiliki iktikad baik untuk menyelesaikan utang pajak sebesar Rp4,7 miliar meskipun dia telah ditahan selama 11 bulan di Lapas Mataram, NTB," kata Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah II Rida Handanu saat menggelar konferensi pers di Aula Lapas Batu.
Menurut dia, utang pajak Rp4,7 miliar tersebut merupakan tunggakan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai untuk tahun pajak 2007-2010.
Ia mengatakan penyanderaan terhadap R yang merupakan pengusaha di bidang perdagangan eceran sepeda motor baru itu dilakukan setelah berbagai upaya penagihan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak tidak membuahkan hasil.
Selain itu, kata dia, R juga tidak mengindahkan tawaran untuk mengikuti program Amnesti Pajak yang akan menghapus sanksi administrasi.
"Oleh karena itu, Ditjen Pajak terpaksa melakukan tindakan penyanderaan pada April 2016 yang kemudian diperpanjang pada Oktober 2016 untuk enam bulan kedua," katanya.
Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I Yoyok Satiotomo yang turut hadir dalam kegiatan tersebut menyatakan rencananya memindahkan seorang penunggak pajak dari Bandung ke Nusakambangan.
"Kami masih menunggu persetujuan dari pusat, mungkin minggu depan atau bulan depan akan dipindahkan ke sini," kata Yoyok yang pernah menjabat Kepala Kanwil DJP Jateng II.
Apa yang disampaikan Yoyok pun menjadi kenyataan karena Kanwil DJP Jabar I pada 30 Maret 2017 memindahkan seorang pengusaha apotek berinisial HS dari Lapas Kebon Waru, Bandung, ke Lapas Batu.
HS merupakan wajib pajak orang pribadi yang menunggak pajak sebesar Rp6,5 miliar dan telah dilakukan penyanderaan di Lapas Kebon Waru, Bandung, sejak 9 Mei 2016.
"Kami menilai pemindahan ini merupakan cara efektif untuk memaksa penunggak pajak agar melunasi tunggakan pajaknya. Lapas Batu dianggap dapat memberikan efek jera kepada yang bersangkutan karena lokasinya yang relatif jauh," katanya.
Baca juga: (Petugas Lapas Nusakambangan musnahkan 122 telepon seluler)
Menurut dia, kondisi tersebut berbeda dengan Lapas Kebon Waru yang dinilai masih terlalu nyaman bagi penunggak pajak karena lokasinya relatif dekat dengan keluarganya sehingga masih mudah dikunjungi.
Yoyok mengatakan tunggakan pajak sebesar Rp6,5 miliar itu hanya berasal dari apotek milik HS.
"Kelihatannya dia masih punya utang lagi untuk CV-nya (Comanditer Venotschaap). Namun dalam kasus ini (tunggakan pajak untuk usaha apotek, red.) hanya Rp6,5 miliar, utang pajaknya PPN (Pajak Pertambahan Nilai)," katanya.
Ia mengatakan sebenarnya HS mampu membayar tunggakan pajak tersebut karena hingga sekarang, apotek dan CV-nya masih beroperasi namun yang bersangkutan tidak bersedia membayarnya.
Sejak dipindah ke Lapas Batu, HS menempati ruang isolasi yang bersebelahan dengan ruangan yang ditempati penunggak pajak bernisial R.
Akan tetapi selang dua hari setelah R "ditemani" HS di tempat penyanderaanya, pengusaha asal Bima itu bebas dari "gijzeling" karena bersedia mengikuti program Amnesti Pajak sehingga sanksi administrasi dan pidana dihapuskan seluruhnya sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Pengampunan Pajak Nomor 11 Tahun 2016.
Dalam hal ini, R yang bebas pada Sabtu (1/4) itu cukup membayar pokok tagihan dan biaya penagihan sebesar Rp3,1 miliar.
Dengan demikian, hingga saat ini masih ada seorang penunggak pajak yang menjalani penyanderaan di Lapas Batu, yakni HS.
"Keangkeran" Nusakambangan
Kepala KPP Pratama Cilacap Sri Sutitiningsih mengakui "keangkeran" nama Nusakambangan telah membuat sejumlah penunggak pajak "bertekuk lutut" melunasi utang pajaknya ketika mereka tahu akan disandera di pulau itu.
"Nilainya mencapai miliaran rupiah. Namun ketika tahu akan disandera di Nusakambangan, mereka segera melunasi," katanya.
Bahkan, pengusaha berinisial BH akhirnya mau melunasi utang pajaknya setelah "mencicipi" dinginnya ruang "gijzeling" di Lapas Batu, Pulau Nusakambangan.
Sementara itu, Kepala Lapas Batu Abdul Aris mengatakan sejumlah lapas di Pulau Nusakambangan siap untuk dijadikan sebagai tempat penyanderaan (gijzeling) bagi penunggak pajak.
"Selain Lapas Batu, ada beberapa lapas lain yang bisa untuk gijzeling karena ada ruang isolasinya, antara lain Lapas Besi dan Lapas Pasir Putih," kata dia yang juga Koordinator Lapas Se-Nusakambangan dan Cilacap.
Ia mengakui Nusakambangan mulai dilirik sebagai tempat penyanderaan bagi penunggak pajak yang tidak mau membayar utang pajaknya.
Menurut dia, penyanderaan di Lapas Batu berdampak positif terhadap pendapatan Direktorat Jenderal Pajak.
"Walaupun penunggak pajak belum bayar, orang-orang yang di luar berbondong-bondong membayar pajak karena takut dibawa ke Nusakambangan. Tugas kami hanya membantu negara," katanya.
Ia mengakui jika pengusaha asal Bima, R yang disandera di Lapas Batu sejak tanggal 21 Maret 2017 akhirnya bersedia mengikuti program Amnesti Pajak sehingga bebas pada tanggal 1 April.
Menurut dia, R telah berkoordinasi dengan Ditjen Pajak dan menghubungi keluarganya agar menyelesaikan utang pajaknya yang sebesar Rp4,7 miliar.
Oleh karena mengikuti program Amnesti Pajak, R cukup membayar pokok tagihan dan biaya penagihan sebesar Rp3,1 miliar.
Aris menduga BH dan R bersedia melunasi utang pajaknya karena suasana di Lapas Batu, Nusakambangan, berbeda dengan lapas-lapas di luas pulau itu.
"Mungkin kalau di luaran sana, mereka masih bisa ditengok keluarganya setiap hari tetapi di Nusakambangan tidak bisa," katanya.
Terkait perlakuan terhadap para tersandera, dia mengatakan hal itu sama seperti yang diberikan kepada warga binaan pemasyarakatan.
Akan tetapi dalam pergaulan di dalam lapas, kata dia, para tersandera atau penunggak pajak dipisahkan dengan warga binaan pemasyarakatan.
Selain itu, lanjut dia, setiap ruang isolasi yang digunakan untuk penyanderaan hanya diisi satu penunggak pajak meskipun sebenarnya bisa digunakan untuk tiga orang.
"Mereka tidak dicampur dengan warga binaan," katanya sembari menyebutkan jika di Lapas Batu terdapat 19 ruang isolasi dan beberapa di antaranya masih kosong sehingga siap menampung penunggak pajak yang akan di-"gijzeling"
Oleh Sumarwoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017