"Lihat misalnya Jepang, Korea Selatan, atau China yang mampu melakukan akselerasi pembangunan sosial-ekonomi berbasis kebudayaan, dengan melakukan kapitalisasi atas nilai-nilai dan kekayaan budaya melalui suatu proses modernisasi," ujarnya saat menjadi pembicara kunci dalam seminar "Peran Kebudayaan Dalam Pembangunan Nasional" di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa.
Menurut dia, kemajemukan di Indonesia adalah realitas sosial sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat, namun tidak harus dimaknai sebagai kelemahan yang menjadikan Indonesia rentan konflik dan disintegrasi.
Kemajemukan justru dapat dijadikan modal dasar pembangunan nasional Indonesia sehingga menjadi negara dan bangsa yang kuat dan unggul.
"Disamping itu, pembangunan nasional harus mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, tidak hanya berfokus pada pembangunan ekonomi, namun juga mempertimbangkan aspek budaya," katanya.
Melalui seminar kebudayaan tersebut, Bappenas sendiri ingin menjaring aspirasi, serta memperoleh saran dan masukan dari para ahli di bidang kebudayaan, baik sebagai praktisi, akademisi, pengamat, dan masyarakat.
Masukan tersebut akan dijadikan sebagai salah satu sumber informasi bagi Bappenas dalam penyusunan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Nasional yang diselenggarakan pada akhir April mendatang.
Seminar sendiri menghadirkan beberapa pembicara seperti Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Pendiri Sokola Rimba Saur Marlina Manurung, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek, dan Kebudayaan Bappenas Amich Alhumami, Antropolog Hans Antlov, Pakar Budaya dari Fakultas Ilmu Budaya UI Melani Budianta, dan Presiden Jember Fashion Carnaval Dynand Fariz.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017