Makassar (ANTARA News) - Transportasi umum (angkutan kota/angkot) yang memiliki rute tertentu, belum mampu memenuhi kebutuhan pengguna jasa transportasi, karena dinilai kurang efisien.
"Kalau kami ingin ke kantor, harus dua kali naik angkot lalu naik becak dengan total biaya Rp25 ribu. Padahal kalau naik taksi daring (online) hanya Rp18 ribu dan langsung sampai tujuan," kata salah seorang pengguna jasa transportasi, Nur Wahidah.
Pengakuan tersebut menjadi salah satu faktor sehingga pengguna jasa transportasi, belakangan ini memiliki kecenderungan menggunakan taksi daring daripada sarana transportasi umum yang memiliki keterbatasan dari segi keterjangkauan seluruh jalan.
Termasuk dari segi kecepatan membawa penumpang ke tujuan, taksi daring lebih unggul dibanding angkot yang biasanya "ngetem" lama untuk menunggu angkot penuh penumpang.
Sementara jika menggunakan taksi konvensional dengan sistem argo, bagi pengguna jasa kelas ekonomi menengah ke bawah, tentu dirasakan masih cukup berat. Selain dikenakan biaya buka pintu, tarifnya akan tergantung pada waktu tempuh dan jaraknya.
Berbeda dengan taksi daring, yang hanya menetapkan harga berdasarkan jarak ke lokasi tujuan dan harga akan tetap meskipun taksi harus mengambil rute lain atau waktu tempuhnya lama, karena misalnya ada kemacetan.
Semua fenomena itu, tidak dapat dipungkiri di lapangan. Hanya saja, layanan jasa transportasi yang sudah mengikuti perkembangan zaman dan kecanggihan teknologi tersebut harus berhadapan dengan layanan jasa angkot konvensional.
Menurut salah seorang yang berkecimpung dalam jasa taksi daring, Arsyad kehadiran taksi daring seperti Grab dan Gojek ini, justeru membuka lapangan kerja baru.
Dia mengatakan, tak ada maksud untuk mematikan angkot dan taksi konvensional, tetapi hanya berinovasi dalam melayani konsumen, sekaligus memberikan alternatif layanan bagi masyarakat.
Pernyataan itu kemudian mendapat tanggapan dari Ketua Organda Kota Makassar, H Zainal Abidin.
"Semenjak ada taksi daring beroperasi di Makassar dan sekitarnya, para sopir mengeluhkan kurang mendapat penumpang. Itu artinya setoran kurang dan kemudian berdampak pada penghasilan keluarga sopir," ucapnya.
Berdasarkan data Organda Kota Makassar diketahui, jumlah angkot mencapai 4.113 unit yang melayani 14 trayek. Sementara berdasarkan kajian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), idealnya hanya 2.700 unit angkot.
Berkaitan dengan kondisi itu, Zainal meminta pihak pemerintah agar membuat kebijakan yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak.
"Ini menyangkut asap dapur para sopir apakah masih bisa mengepul atau tidak, karena adanya taksi daring ini sangat berpengaruh pada pendapatan sopir," ujarnya.
Sementara itu, pengamat transportasi dari Universitas Hasanuddin Makassar Dr Lambang Basri mengatakan, ketidakseimbangan ratio konsumen dengan layanan jasa transportasi itu, selain memicu kemacetan dan kesemerawutan lalu lintas.
Intensifkan Pengawasan
Guna mencari solusi ditengah polemik keberadaan taksi daring ini di Makassar dan sekitarnya, Dishub Sulsel siap mengitensifkan pengawasan taksi daring di lapangan.
"Kami mulai mengintensifkan pengawasan terhadap kegiatan angkutan taksi daring per 1 April 2017," ujar Kadis Perhubungan Sulsel Ilyas Iskandar.
Menurut dia, pihaknya akan melakukan penindakan apabila temukan beroperasi tanpa memenuhi sebelas poin ketentuan sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016.
Berkaitan dengan hal itu, maka pihak Dishub Sulsel siap bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk melakukan operasi penertiban secara besar-besaran, kendatipun pihak Kementerian Perhubungan masih memberikan waktu toleransi hingga tiga bulan ke depan.
Karena itu, dia mengimbau pengemudi taksi daring yang belum memenuhi 11 poin ketentuan tersebut, agar menghentikan sementara kegiatan operasi angkutannya.
"Misalnya, yang STNK-nya belum berbadan hukum, tentu kita akan tindaki. Dengan harapan ada efek jera, sehingga mereka mengurus kelengkapannya," ucapnya, menegaskan.
Adapun tindak lanjut dari upaya penertiban ini, lanjut dia, nantinya akan ada stiker khusus yang menandai kendaraan taksi daring tersebut.
"Yang jelas, kami masih menunggu petunjuk dari Kementerian Perhubungan, apakah kita yang cetak stiker ini, kita pasangi label Dishub, atau dikirim langsung dari kementerian itu," imbuhnya.
Label itu kemudian akan dipasangi "chip" yang memungkinkan Dishub mengakses lokasi angkutan tersebut.
"Jadi kita tahu ke mana pergerakan taksi online, dan tentunya kita akan batasi wilayah yang selama ini operasionalnya taksi konvensional, supaya tidak saling bersinggungan langsung," tandas Ilyas.
Setidaknya kebijakan yang diambil oleh pemerintah setempat saat ini, dinilai akan memberikan "win - win sollution" bagi para pemberi layanan jasa transportasi, baik konvensional maupun yang daring.
Langkah itu pula diharapkan ke depan dapat menyelaraskan layanan taksi daring dan konvensional.
Oleh Suariani Mappong
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017