Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah memutuskan membentuk holding sebagai bentuk antisipasi moral hazard yang mungkin terjadi dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

"Kenapa ada holding? Itu untuk moral hazard juga sebenarnya. Saya tidak mau BUMDes yang sudah besar lalu kemudian ada kecenderungan pengelolaan dilakukan kroni oknum pengelola, karenanya ini sebagai bentuk antisipasi," kata Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo dalam temu media di Jakarta, Jumat.

Selain itu, ia mengatakan tidak ingin masyarakat desa yang memiliki BUMDes tersebut justru mendapat keuntungan lebih kecil dibanding perusahaan yang menjadi rekan usahanya.

"Ada BUMDes bergerak di bidang jasa boga yang kerja sama dengan industri dan mereka justru dapat porsi keuntungan lebih kecil dibanding industrinya. Saya tidak mau itu, karenanya 51 persen saham dipegang negara melalui BUMN dan 49 persen oleh BUMDes," ujar Eko.

Pemerintah semakin besar mengucurkan dana desa, dari Rp20,8 triliun di 2015, Rp40,698 triliun di 2016, Rp60 triliun di 2017. "Jadi sudah tiga kali bergulir. Dan akan Rp120 triliun di 2018".

Dengan dana yang semakin besar digulirkan maka pengawasan semakin ketat dari mulai aparat, satgas di KPK, di Kementerian, di NGO, masyarakat hingga media. Meski dari 200 kasus penyelewengan dana desa yang terungkap, kurang dari 100 kasus yang berlanjut ke pengadilan.

Eko mengatakan empat bank BUMN yang akan menjadi holding BUMDes yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Mandiri, serta Bulog.

Adanya holding, menurut dia, juga karena belum semua mempunyai kemampuan kelola BUMDes karenanya perlu badan yang bukan ad hoc yang harus fokus dan memiliki Indikator Kinerja atau indikator kinerja utama (IKU) atau ukuran kinerja terpilih (key performance indicators/KPI) yang di jelas.

"Saya harap dengan cara ini pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia semakin pesat," katanya.

Pewarta: Virna P
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017