Canberra (ANTARA News) - Program acara "NewsdotCom" yang ditayangkan Metro TV tidak hanya layak menjadi "refleksi diri" media televisi di Indonesia, tetapi juga media yang sama di Australia dan Eropa yang belakangan ini tersandera oleh acara-acara yang tidak mewakili kepentingan publik. "Saya rasa acara seperti 'Newsdotcom' ini wajib ditayangkan setiap 'channel'`. Mungkin satu jam per minggu ada acara seperti ini atau acara 'media watch' supaya media televisi akuntabel dan lebih transparan bagi kepentingan publik," kata Pakar Media Belanda, Dr.Edwin Jurriens, kepada ANTARA di Canberra, Rabu. Selama ini, banyak stasiun televisi yang telah tersandera potensinya oleh faktor-faktor yang disebut Pierre Bourdieu dalam karya seminal-nya "Sur la Television" (1996) sebagai "korupsi struktural politik dan ekonomi, kekerasan simbolik, sirkulasi informasi dan budaya dari para pemikir instan dan pemikiran instan". Fenomena itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju seperti Australia dan Eropa, kata Jurriens, yang ditemui seusai berbicara dalam diskusi "Kelompok Studi Indonesia" Universitas Nasional Australia (ANU) dengan tajuk "Televisi Indonesia: Politik, Parodi, dan Pencarian Mutu" itu. "Sebaiknya memang ada forum yang disediakan lembaga penyiaran publik seperti televisi untuk mengidentifikasi dan membicarakan masalah-masalah masyarakat. Saya rasa `Newsdotcom` dapat dan layak menjadi contoh." "Semua masalah diidentifikasi dan dibicarakan antarpihak yang terlibat dengan produser televisi dan juga audiens," kata penulis buku "Cultural Travel and Migrancy: The Artistic Representation of Globalization in the Electronic Media of West Java" (Leiden: KITLV Press, 2004) itu. Menurut dia, kendati stasiun televisi telah memilih program dialog interaktif, program acara semacam "Newsdotcom" tampak lebih kreatif dan dapat dinikmati khalayak yang merasa terwakili pula oleh kehadiran penonton yang bisa langsung ikut berdiskusi. "Hanya saja, saya menyarankan pengelola acara ini perlu juga sedikit mengarah ke `cultural studies` dengan mengangkat fenomena media itu sendiri. Sekarang ini, karena mungkin waktu (slot penayangan) sangat terbatas sehingga diskusi pun beralih dari satu topik ke topik lain. Tapi, saya rasa fenomena pertelevisian memerlukan waktu diskusi yang lebih panjang dan lebih mendalam lagi," katanya. Sebelumnya dalam diskusi yang dipandu Indonesianis ANU, Ed Espinall, itu, Jurriens, mengatakan tayangan Metro TV itu tidak saja berhasil memparodikan berbagai persoalan kontemporer Indonesia dalam kemasan yang menarik, tetapi juga merupakan langkah produktif untuk meningkatkan "melek media" publik negeri itu. NewsdotCom yang juga dikenal dengan kantor berita negara "Republik Mimpi" ini merupakan alternatif tontonan yang memenuhi standar kritis dan kreatifitas yang tinggi di tengah membanjirnya tayangan infotaiment, opera sabun, film-film horor, kekerasan, dan nuditas di berbagai stasiun TV Indonesia, katanya. Acara yang melibatkan para pemain seperti artis Anya Dwinov, dr. Handoyo alias Gus Pur, Dr. Effendi Gazali alias dek Pendi, Iwel Wel, Olga Lydia, Si Butet Yogya alias SBY, Burhanuddin Moeloek alias "Suharta", dan Sujarwo alias JK (Jarwo Kuat) ini menjadi contoh adanya "perubahan kualitatif" dalam pertelevisian Indonesia, katanya. Acara ini pun mampu memperbaiki mutu tayangan TV yang mewakili kepentingan publik dan meningkatkan pemahaman mereka akan peran kualitatif media televisi. "Isu-isu yang disorot pun cukup mewakili kepentingan publik secara luas," kata pakar jurnalistik lulusan Universitas Leiden dan beristrikan orang keturunan Indonesia-Belanda ini. (*)

Copyright © ANTARA 2007