Jakarta (ANTARA News) - Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri Irjen Pol H.S. Maltha mengatakan bahwa penangkapan tersangka kasus korupsi kondensat, Honggo Wendratno yang diduga berada di Singapura sulit dilakukan karena tidak adanya perjanjian ekstradisi antara Singapura dengan Indonesia.
Irjen H.S. Maltha di Mabes Polri, Jakarta, Kamis, mengakui permintaan bantuan hukum timbal balik ke negara lain sulit dilakukan jika negara yang diminta tidak menyetujuinya, salah satunya Singapura.
Honggo Wendratno adalah satu dari tiga tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dalam perkara penunjukan langsung untuk menjual kondensat bagian negara di BP Migas.
Honggo merupakan salah satu pendiri PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI). Ia diketahui masih berada di Singapura karena masih dirawat di salah satu rumah sakit di negara tersebut.
Meski telah dikeluarkan red notice untuk menangkap Honggo, namun penangkapan Honggo terkendala perjanjian ekstradisi yang tidak dimiliki antara Indonesia dengan Singapura.
"MLA atau mutual legal assistance enggak bisa berjalan kalau negara yang diminta tidak setuju," kata Irjen H.S. Maltha.
Padahal, pihaknya mengaku sangat gencar melakukan pendekatan terhadap Singapura.
Baca juga: (Bareskrim Polri siapkan red notice untuk tangkap Honggo)
"Kami sangat aktif melakukan pendekatan. Tapi Singapura tidak mau, diambangkan saja, draf yang kami ajukan tidak dibalas," ungkapnya.
Pihaknya memperkirakan Singapura enggan memiliki perjanjian ekstradisi karena tidak nyaman dengan perjanjian tersebut. "Mungkin ada ketidaknyamanan ketika ada hubungan ekstradisi yang dijalankan. Selain itu dalam kegiatan MLA, ekstradisi, kalau mereka tidak diuntungkan, mereka tidak mau," ucapnya.
Sementara Sekretaris National Central Bureau (Ses NCN) Indonesia Brigjen Pol Naufal Yahya mengatakan Singapura adalah negara yang cenderung mengedepankan kepentingan negaranya sendiri.
Naufal menengarai tersangka Honggo Wendratno berinvestasi dalam jumlah besar di negara dengan simbol Merlion itu.
"Singapura kan hidup dari investasi. Kalau tersangka tidak investasi di sana, pasti sudah diusir dengan dalih overstay," ujarnya.
Selain itu alasan Singapura enggan untuk memulangkan Honggo adalah dugaan tindak pidana yang dilakukan Honggo bukan dilakukan di negara tersebut.
Terkait dengan red notice yang telah dikeluarkan Interpol untuk memburu Honggo, dalam Sidang Umum Interpol ke-85 di Bali akhir tahun 2016, pihak Hubinter Polri telah menanyakan perihal sikap Singapura yang tidak mengindahkan red notice tersebut.
"Kami sudah menanyakan soal HW saat Sidang Interpol, tapi belum ada sanksi untuk anggota Interpol yang tidak comply dengan notice-notice yang disiapkan Interpol," ujarnya.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017