Phnom Penh (ANTARA News) - Kamboja secara resmi melarang penjualan dan ekspor air susu ibu (ASI) dari perempuan-perempuan yang sedang menyusui di negara itu setelah laporan-laporan yang mengungkap bagaimana perempuan melakukan perdagangan kontroversial tersebut untuk menambah pendapatan keluarga.

Perintah Selasa itu dikeluarkan setelah Kamboja sementara waktu menghentikan ekspor ASI yang dilakukan oleh Ambrosia Labs yang berbasis di Utah, yang mengklaim sebagai perusahaan pertama yang memasok produk itu dari luar negeri dan menyalurkannya ke Amerika Serikat.

ASI tersebut diperoleh dari perempuan-perempuan miskin Kamboja di ibu kota Phnom Penh dan kemudian dikirim ke Amerika Serikat, tempat susu-susu tersebut dipasteurisasi dan dijual seharga 20 dolar AS (sekitar Rp266.470) per kemasan.

Pelanggan perusahaan itu adalah para ibu di Amerika Serikat yang tidak bisa menghasilkan susu dalam jumlah yang cukup untuk bayi mereka.

Pada Selasa, kabinet Kamboja memerintahkan Kementerian Kesehatan untuk "bertindak segera untu mencegah pembelian dan pengeksporan ASI dari para ibu di Kamboja" menurut surat yang dilihat oleh kantor berita AFP.

"Meski Kamboja miskin dan (hidup) susah, tidak pada tingkat sampai harus menjual susu dari para ibu," tambah pernyataan itu.

Baca juga: (PM Kamboja: saya dan Trump korban media "anarkis")

Baca juga: (Kamboja larang ekspor ASI)

Ambrosia Labs membela bisnisnya dalam wawancara sebelumnya, menyatakan model itu mendorong para ibu Kamboja menyusui anaknya dan mendapat penghasilan ekstra sekaligus mengisi kekurangan bank ASI di Amerika Serikat.

Namun UNICEF -- badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang melindungi anak-anak -- menyambut larangan itu, mengatakan perdagangan semacam itu eksploitatif dan bahwa kelebihan ASI harus tetap berada di Kamboja, tempat banyak anak kekurangan nutrisi.

"Di Kamboja pemberian ASI eksklusif untuk bayi baru lahir selama enam bulan menurun dari 75 persen pada 2010 menjadi 65 persen pada 2014," kata Debora Comini, perwakilan UNICEF Kamboja dalam satu pernyataan yang dikutip AFP.

Ros Sopheap, direktur kelompok hak asasi perempuan setempat Gender and Development for Cambodia (GDC), memuji keputusan pemerintah untuk melarang perdagangan itu.

"Bahkan jika perempuan setuju untuk melakukannya secara sukarela, mereka sering kali tidak punya pilihan lain dan menghadapi tekanan ekonomi," katanya kepada AFP.

Chea Sam, perempuan 30 tahun yang pernah bekerja untuk Ambrosia Labs, mengatakan kepada AFP dalam wawancara baru-baru ini bahwa dia telah menjual ASI selama tiga bulan setelah kelahiran anak lelakinya. Ia memperoleh pendapatan 7,5 sampai 10 dolar AS per hari dan dia tahu sedikitnya ada 20 ibu lain yang melakukan hal yang sama.

"Kami sedih perdagangan ini dilarang. Itu sangat membantu kehidupan kami," katanya kepada AFP setelah ekspor ditangguhkan.(kn)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017