Jakarta (ANTARA News) - Praktisi sipil Benny Puspantoro menyebut dalam ilmu sipil, telah dikenal syarat-syarat bangunan yang lebih mampu mengatasi guncangan, misalnya menggunakan denah bangunan yang sederhana dan simetris, bukan bentuk L, U atau T, untuk mengurangi efek momen puntir oleh gaya gempa.

Syarat berikutnya adalah dengan membangun fondasi rumah di atas struktur tanah yang stabil, yaitu tanah yang bertekstur keras, padat dan merata kekerasannya.

Semakin keras struktur tanahnya maka partikel-partikel tanah akan makin sulit bergerak jika terjadi guncangan, dan bangunan di atasnya juga bisa terhindar dari guncangan tersebut.

Selain itu, fondasi dan dinding harus dibangun dengan balok yang mengelilingi bangunan yang saling terikat kokoh dengan kolom serta menggunakan atap yang ringan.

Bahan-bahan seperti kayu dan bambu seperti pada rumah-rumah tradisional memiliki resiko minimal dibanding bahan seperti batu bata dan batako pada rumah modern, karena lebih ringan.

Sedangkan untuk bangunan tinggi seperti gedung perkantoran, mal, apartemen dan infrastruktur seperti jalan dan jembatan di perkotaan sebaiknya menggunakan konstruksi yang memang dirancang tahan guncangan gempa.

Sarang Laba-laba
Ryantori, pakar konstruksi bangunan asal Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), telah mengembangkan Konstruksi Sarang Laba-Laba (KSLL) untuk kebutuhan bangunan tahan gempa tersebut.

Konstruksi ini dirancang untuk mampu mengikuti arah gempa baik horisontal maupun vertikal sehingga bangunan tidak akan ambruk karena gempa.

"Konstruksi Sarang Laba-Laba ini satu-satunya sistem fondasi yang terbukti dan teruji mampu menyelamatkan gedung-gedung yang menggunakannya pada saat gempa dahsyat 9,3 Skala Richter yang menghancurkan Aceh, dengan rasio keberhasilan 100 persen," katanya.

Pada 26 Desember 2004 ketika Aceh luluh-lantak oleh gempa, ada 32 gedung yang selamat karena menggunakan KSLL. Kemudian pada 30 September 2009 ketika Padang hancur terkena gempa 8,4 SR terdapat 65 gedung yang 100 persen juga selamat karena menggunakan KSLL.

Ketahanan terhadap gempa menjadi lebih tinggi sebab KSLL merupakan suatu konstruksi yang menyatu, kaku dan saling mendukung antara konstruksi beton dan perbaikan tanah.

Konstruksi berupa beton bertulang menyerupai sarang laba-laba dan tanah yang dipadatkan itu adalah sistem fondasi pertama di dunia yang mampu membuat tanah juga berfungsi sebagai struktur, ujarnya.

Menurut Ryantori, konstruksi yang telah dikembangkannya sejak 1976 itu telah digunakan untuk lebih dari 700 gedung di Indonesia seperti di Aceh, Padang, Bengkulu, Jambi, Sulut, Sulteng, NTB hingga Papua. Sekitar 150 gedung di antaranya sempat terkena gempa, namun bisa tetap kokoh berdiri.

Paten KSLL kini sudah merupakan seri yang ke-3 yang terbit awal 2017 dan menyempurnakan paten seri sebelumnya, yakni seri 1 terbit tahun 1979 dan seri 2 tahun 2007. Paten seri 3 ini telah ditambah perangkat pasak vertikal yang berfungsi meratakan jika terjadi penurunan bangunan, ujarnya.

Pembangunan gedung dengan menggunakan konstruksi ini juga tidak membutuhkan waktu lama, karena tinggal dipasang di lokasi. Selain itu juga lebih hemat karena tidak membutuhkan tiang pancang dalam dan lebih banyak menyerap tenaga kerja, karena tidak ada pekerjaan yang membutuhkan alat berat.

Fondasi ini juga sesuai digunakan sebagai dasar bangunan bertingkat 2 hingga 8 yang dibangun di atas tanah lunak, karena jika terjadi penurunan tanah maka akan merata di semua bidang, karena masing-masing kolom dijepit dengan rusuk-rusuk beton yang saling mengunci.

KSLL telah digunakan antara lain untuk gedung RRI di Surabaya, lapangan kontainer Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, kantor dinas perhubungan di Banda Aceh, gedung DPRD Sumbar di Padang, Bandara Hang Nadim Batam, CTI Building di Manado, departemen logistik kepolisian di Jakarta Timur, serta kantor hukum dan HAM Papua.

Konstruksi jenis ini tidak hanya untuk mengantisipasi kemungkinan kerusakan bangunan dan kerugian materi yang cukup besar karena gempa, tetapi juga mencegah kemungkinan korban luka dan tewas tertimpa bangunan.

Pewarta: Dewanti Lestari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017