Nyanyian sunyi penuh damai di kawasan Pegunungan Kendeng di Kabupaten Rembang dan sekitarnya di Jawa Tengah, kini seperti sudah menjelma menjadi keriuhan polemik yang dibumbui intrik politik.
Benar bahwa persoalan penghentian pembangunan pabrik semen di Rembang itu sudah dibawa sampai Presiden di Jakarta, tapi jalan keluar untuk mengembalikan kawasan Kendeng seperti semula layaknya harus melalui ujian panjang penuh onak dan duri.
Dan kini gemericik mata air yang membelah perbatasan Desa Pasucen dan Tegaldowo di Rembang, bahkan nyaris terdengar seperti tetesan air mata saja bagi para "sedulur" petani di kawasan Kendeng.
Kepergian Yu Patmi (Mbakyu/kakak, red) sebagai srikandi Kendeng yang pernah menyemen kakinya sebagai bentuk perlawanan di depan keangkuhan tembok Istana di Jakarta adalah air mata lain yang menandakan perjuangan dulur-dulur (saudara, red) di kawasan Kendeng memanglah masih teramat panjang.
Setidaknya Pabrik Semen Indonesia itu telah berdiri dengan kokoh di sana, di antara bentangan pegunungan kapur terjal yang sejajar dengan Serayu Selatan.
Mestinya, alam tetaplah dibiarkan berbaik hati pada petani. Alam yang telah mengizinkan bukit-bukit karst putih itu pada akhirnya bisa ditembus air hingga mengirigasi puluhan hektare lahan sawah di kawasan Kabupaten Rembang dan sekitarnya di Jawa Tengah.
Faktanya irigasi selebar satu meter yang membelah jalan di perbatasan dua desa Pesucen dan Tegaldowo memang entah bagaimana nasibnya nanti setelah mata airnya yang dikandung oleh bukit Kendeng itu pada akhirnya nanti akan ditambang oleh PT Semen Indonesia.
Gunretno, yang memimpin masyarakat petani yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng masih mempunyai sisa-sisa semangat untuk berjuang.
Air mata untuk mempertahankan mata air di pegunungan tempatnya dilahirkan belum akan kering hingga pemerintah mencabut izin lingkungan pembangunan pabrik di kawasan itu.
"Kami sampai mengecor kaki ini, menyakiti ini, untuk keseimbangan Jawa. Kami berharap Pak Jokowi, pemerintah jangan nggawe dolanan petanilah," katanya saat sore ketika diterima masuk Istana di Jakarta oleh Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki.
Itu adalah malam terakhir bagi Patmi (48), saat pada dinihari itu pula ia meninggal dunia akibat serangan jantung. Maka Kendeng pun harus dibanjiri air mata esok harinya saat perjuangan belum lagi usai.
Potensi Rusak
Perjuangan Gunretno dan Sedulur Sikep sejatinya dimulai sejak lebih dari 10 tahun silam. Perjuangan mereka pada tahun-tahun awal
membuahkan hasil dengan dimenangkannya gugatan mereka di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung pada 2009.
Kemenangan ini diikuti dengan ditetapkannya kawasan karst pegunungan Kendeng di Sukolilo sebagai kawasan lindung oleh pemerintah.
Sedulur Sikep sendiri adalah masyarakat adat yang tinggal di sepanjang kawasan Pegunungan Kendeng, membentang dari Blora dan Pati di Jawa Tengah hingga Bojonegoro di Jawa Timur.
Mereka adalah pengikut ajaran Samin Surosentiko (yang bernama asli Raden Kohar) seorang tokoh dari Blora yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1890 dengan menolak membayar pajak karena membebani petani dan mengikuti aturan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda.
Gerakan Saminisme oleh antropolog Amrih Widodo disebut sebagai fenomena sosial yang tertua di Asia Tenggara dan menjadi bagian dari gerakan petani.
Karena itu perlawanan dan penolakan yang dilakukan Sedulur Sikep terhadap korporasi semen hari-hari ini memiliki akar sejarah yang panjang dalam konteks gerakan perlawanan petani di Indonesia.
Perjuangan mereka kini adalah pertaruhan soal sumber air yang mengaliri ribuan desa hingga pertaruhan soal potensi rusaknya kualitas tanah dan udara.
Sayangnya perjuangan tak lantas berhenti lantaran setelah berhasil ditolak di Sukolilo, Pati, pada 2012 PT Semen Gresik yang berganti nama menjadi PT Semen Indonesia justru memperoleh izin di Tegaldowo, Rembang yang diikuti dengan pembangunan pabrik pada 2014.
Maka Gunretno bersama masyarakat Rembang lain melakukan perlawanan, menuntut penghentian rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Indonesia hingga hari ini.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar yang mendampingi mereka selama ini, mengaku gusar dengan sikap Istana dalam hal ini Kepala Staf Presiden (KSP) Teten Masduki dalam kasus para petani Kendeng, Jawa Tengah, yang melakukan aksi semen kaki di depan Istana.
Sebab, Teten hanya terkesan mengumbar janji bahkan mengatakan bahwa penerbitan izin lingkungan bagi Semen Indonesia adalah bagian dari kewenangan Pemda.
Sejatinya akar masalah konflik ini terletak di tangan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang menerbitkan SK izin operasi pabrik semen. Padahal Mahkamah Agung (MA) sudah memutuskan bahwa izin tersebut harus menunggu Kajian Lingkungan Hidup Strategis terlebih dahulu.
"Teten Masduki tidak merespons apapun. Warga Kendeng akan terus melakukan aksi sampai Presiden memerintahkan Gubernur Ganjar Pranowo mencabut SK-nya," kata Haris.
Pekerjaan Baru
Masyarakat Samin tak pernah membayangkan menukar mata pencahariannya dengan pekerjaan baru sebagai buruh pabrik.
Toh faktanya bahwa tak akan seluruh petani Kendeng yang akan terserap sebagai buruh pabrik semen lantaran kapasitas yang diperlukan hanya ratusan orang saja.
Sementara jumlah masyarakat berdasarkan data pemilih pada 2014 di Kecamatan Gunem, tempat pabrik itu berdiri ada ribuan, yakni 14.698 jiwa meskipun tak seluruhnya berusia produktif.
Mereka menggantungkan hidup sebagian besar pada sektor pertanian hingga sesuai data BPS tercatat di Rembang distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha dari 2010 sampai dengan tahun 2012, secara umum didominasi oleh sektor pertanian dengan angka kontribusi 43,91 persen.
Bisa dimengerti ketika masyarakat Kendeng kemudian memperjuangkan sumber kehidupan mereka termasuk mata air yang menghidupi lahan pertanian.
Di sana ada Cekungan Air Tanah Watu Putih yang kini membuat resah petani sekitar tambang termasuk juga aliran air dari cekungan itu yang menghidupi petani hingga lintas kabupaten, yakni Rembang, Blora, Pati maupun Grobogan.
CAT Watuputih adalah salah satu dari 19 cekungan air tanah di Jawa Tengah, yang menyimpan 109 mata air, yang juga masuk dalam kawasan lindung geologi, beberapa terletak di lokasi pendirian dan penambangan pabrik semen dan sebagian besar dimanfaatkan warga untuk lahan pertanian.
Istana memang tak diam menanggapi itu, Presiden bahkan memberikan waktu khusus pada 22 Maret 2017 untuk perwakilan masyarakat Kendeng.
Di sela-sela acara itu, Jokowi menyempatkan bicara berdua dengan salah seorang petani di wilayah Kendeng, Gunarti yang sudah seminggu terakhir mengecor kakinya di seberang Istana.
Presiden juga menyampaikan duka cita yang mendalam atas meninggalnya Patmi sekaligus memberikan santunan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Istana juga melalui Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menyampaikan kepastian PT Semen Indonesia menghentikan proses penambangan di pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah.
"Jadi kami sudah panggil PT Semen Indonesia juga hadir dalam pertemuan tadi pagi Deputi Menteri BUMN untuk respon demo dari masyarakat Kendeng yang menolak pabrik semen. Dan sudah disepakati bahwa PT Semen menghentikan untuk sementara proses penambangannya dan memang sudah mereka hentikan," kata Teten.
Dalam pertemuan dengan empat perwakilan petani yang kakinya disemen beberapa waktu lalu itu, Teten juga menyampaikan bahwa PT Semen Indonesia setuju untuk melakukan perbaikan pada jalan-jalan yang rusak akibat alat-alat berat yang dioperasikan selama proses penambangan.
Selain itu, hal ketiga yang juga disampaikan Teten kepada perwakilan petani itu yakni terkait penundaan rencana peresmian pabrik Semen Indonesia di Rembang.
Penghentian operasi sementara pun dianggap hanya solusi sesaat sebab Kendeng tak pernah menginginkan mata air mereka rusak hingga menyisakan air mata untuk anak cucu masyarakat Samin.
Oleh Hanni Sofia Soepardi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017