Jakarta (ANTARA News) - Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mengeluhkan kondisi Indonesia yang kekurangan hakim kepada Presiden Joko Widodo dan meminta solusi atas persoalan tersebut.
"Yang pertama kami sampaikan kepada Presiden bahwa di Indonesia terjadi kekurangan hakim karena sudah tujuh tahun tidak ada penerimaan hakim di Indonesia," kata Ketua Umum Pengurus Pusat IKAHI Suhadi di Kantor Presiden Jakarta, Senin.
Pada kesempatan itu, pihaknya diterima oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka Jakarta.
Para Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia yang hadir yakni, Ketua Umum H Suhadi, Ketua I I Gusti Agung Sumanatha, Ketua II H Amran Suadi, Ketua III Burhan Dahlan, Ketua IV H Yulius Rivai, Sekretaris Umum Kadar Slamet, Sekretaris I M Fauzan, Bendahara I Abdul Goni, dan Bendahara II Multiningdyah Elly Mariani.
Sementara Presiden didampingi Menkumham Yasonna Laoly dan Seskab Pramono Anung.
Suhadi mengatakan krisis hakim terjadi di Indonesia dalam tujuh tahun terakhir sedangkan hakim yang pensiun terus terjadi sesuai dengan batas umur yang ditentukan.
Baca juga: (Ikahi: penegak hukum siap jerat korporasi)
Baca juga: (Presiden setuju penambahan 1.800 hakim)
"Oleh sebab itu karena tidak ada penerimaan hakim selama tujuh tahun maka terjadi kekurangan hakim di Indonesia terutama di tingkat pertama dan di tingkat banding," katanya.
Lebih lagi kata dia, ada Keputusan Presiden RI tentang pemekaran wilayah yang harus didirikan pengadilan di dalamnya.
Tercatat ada 86 daerah baru yang harus ada pengadilannya, dan pengadilan belum dapat melaksanakan Keppres tersebut karena antara lain sebab kekurangan hakim.
"Jika di dalam satu pengadilan itu dibutuhkan lima orang hakim, ketua, wakil dan tiga anggotanya maka dibutuhkan sekitar 512 orang hakim di pengadilan yang ada di dalam keppres tersebut," katanya.
Pihaknya juga mengeluhkan terkait pemotongan usia pensiun hakim kepada Presiden yakni dari 70 tahun menjadi 65 tahun untuk hakim agung, 67 tahun menjadi 63 tahun untuk hakim tingkat banding, dan 65 tahun menjadi 60 tahun untuk hakim tingkat pertama.
Selain itu pihaknya juga menolak permintaan lembaga lain yakni Komisi Yudisial untuk berbagi tanggung jawab atau "share responsibility" dalam hal organisasi, administrasi, serta finansial.
"Ini juga ditolak oleh hakim seluruh Indonesia karena perjuangan hakim selama berpuluh-puluh tahun bahwa satu atap itu harga mati kalau dicerai-beraikan lagi dalam berbagai atap nanti akan terjadi lagi hal serupa sebelum satu atap," katanya.
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017