Bogor (ANTARA News) - Suatu siang di akhir pekan lalu, waktu sudah menunjukkan jam 12.00 WIB, tapi wisata Tajur SKI Bogor masih nampak sepi.
Di bawah rintik hujan, seorang pria penjual batu akik menunggu pembeli datang.
Pria itu, Acim, (42) telah menjajakan batu akik di SKI sekitar dua tahun.
"Sekarang pendapatan dari menjual akik tidak pasti. Kadang sehari itu kagak ada yang beli," ujar Acim kepada ANTARA News.
Acim mengatakan dia mengambil untung sedikit saja karena yang terpenting adalah bisa terus menjalankan usahanya.
Ada beberapa jenis batu akik yang dia jual, misanya red rafflesia dari Bengkulu, batu solar dari Padang, batu kalimaya dari Banten, bahkan ada Batu giok dari Aceh yang menurut Acim mampu menetralisir racun.
"Kalo Batu Aceh itu kita rendam, terus kita tetesin antiseptik, dibiarkan beberapa menit, airnya berubah jadi putih lagi," jelas Acim. Dia tidak memberi pembuktian lebih lanjut.
Harga yang ditawarkan Acim tergantung jenis dan kualitas batu akik.
Dia mengaku terjadi penurunan harga yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Misalnya, batu kalimaya diamater 1 cm harga minimalnya Rp1 juta, tapi itu dua tahun lalu dan kini harganya cuma Rp150 ribu rupiah.
"Barusan ditawar pengunjung, harga Rp200 ribu ditawar Rp50 ribu," katanya.
Acim mengaku, dia masih menjual batu akik karena dirinya hanya sebagai penjaja dan bukan pemilik.
Batu-batu itu milik bosnya yang punya berbagai bisnis, antara lain tas.
"Saya digaji bulanan. Nah usaha batu akik ini masih bertahan karena biaya operasional batu akik ini ketutup sama laba dari usaha lain yang dimiliki bos," jawab Acim.
Dia tidak tahu sampai kapan bosnya berbisnis batu akik, dan Acim juga belum tahu pekerjaan selanjutnya jika si bos memutuskan berhenti berbisnis batu akik.
(Adi Setiawan / BPJS TK)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017