Jakarta, 8 Mei 2007 (ANTARA) - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) hari ini memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) dari 9% menjadi 8,75%. Keputusan ini diambil berdasarkan evaluasi pencapaian sasaran inflasi ke depan yaitu masing-masing sebesar 6%-1 dan 5%-1% untuk tahun 2007 dan tahun 2008, identifikasi terhadap berbagai faktor risiko, serta evaluasi kondisi perekonomian terkini.
"Berbagai indikator ekonomi membaik dengan stabilitas makroekonomi dan keuangan yang relatif terjaga, serta mulai menunjukkan tanda-tanda ekspansi yang didorong oleh kinerja ekspor dan perbaikan investasi swasta," demikian Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah. Sementara itu, meningkatnya permintaan agregat telah dapat diimbangi dengan meningkatnya pemakaian kapasitas produksi dan pemanfaatan inventory. Dengan kondisi tersebut, pertumbuhan ekononomi pada triwulan-I 2007 masih sesuai dengan perkiraan semula, yaitu sebesar 5,4%.
Perekonomian pada triwulan II-2007 diperkirakan akan tumbuh menjadi 6% atau bahkan lebih baik dari proyeksi awal yang sebesar 5,9% (yoy). "Tanda-tanda perbaikan di sektor riil pada triwulan II-2007 telah semakin nampak dan akan semakin menguat dengan langkah penurunan BI Rate yang dilakukan pada hari ini. Di samping itu, sasaran inflasi tahun 2007 diyakini akan dapat dicapai," tambah Burhanuddin. Dalam konteks penerapan
Inflation Targeting Framework (ITF) secara konsisten, tingkat BI Rate saat ini juga telah mempertimbangkan berbagai tekanan dan faktor risiko yang dapat mempengaruhi pencapaian target inflasi yang telah direncanakan.
Dewan Gubernur berpandangan bahwa kebijakan moneter yang diterapkan saat ini masih dapat memberikan stimulus lebih lanjut pada perekonomian secara keseluruhan. Hal ini tercermin pada pergerakan nilai tukar, harga saham dan
yield SUN di pasar keuangan, dan semakin kondusifnya iklim dunia usaha. Tingkat BI Rate diharapkan juga dapat memberikan ruang gerak lebih besar bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit ke level yang lebih rendah sehingga pembiayaan kepada sektor riil semakin meningkat.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, tingkat inflasi IHK tetap terkendali dan pada bulan April 2007 tercatat deflasi sebesar 0,16% sehingga secara tahunan inflasi IHK turun dari 6,52% pada Maret menjadi 6,29% pada April 2007. Membaiknya inflasi IHK didorong oleh penurunan harga kelompok makanan yang pada bulan-bulan sebelumnya bergejolak (
volatile food), terutama beras dan beberapa komoditas bumbu dan sayur mayur. Sementara itu, inflasi inti tetap terjaga sejalan dengan menguatnya nilai tukar rupiah.
Nilai tukar rupiah cenderung terus menguat disertai dengan volatilitas yang lebih rendah. Secara rata-rata nilai tukar rupiah menguat sehingga mencapai Rp 9.096 per USD pada bulan April dibandingkan Rp 9.196 per USD pada bulan Maret. Penguatan rupiah dimaksud terus berlangsung secara gradual sehingga mencapai rata-rata Rp.9052/USD dalam minggu pertama Mei 2007. Penguatan ini sejalan dengan surplus Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang didukung oleh kinerja ekspor yang membaik, melemahnya dollar AS secara global bersamaan dengan berlangsungnya proses konsolidasi ekonomi AS, serta masih tingginya ekses likuiditas global. Dengan tetap terjaganya faktor risiko domestik dan masih menariknya imbal hasil rupiah, hal ini telah mendorong aliran dana masuk ke dalam negeri (
capital inflow) dan memberi kontribusi terhadap apresiasi tersebut.
Di sektor perbankan, secara umum kinerja industri perbankan terus menunjukkan perkembangan. Walaupun fungsi intermediasi masih belum sesuai harapan, kredit perbankan pada akhir Maret 2007 telah melebihi nilai tahun 2006. Pada bulan Maret, kredit naik Rp 16,7 triliun sehingga menjadi Rp 843 triliun. Hal ini mendorong kenaikan LDR dari 64,7% di bulan Desember 2006 menjadi 65,3% pada bulan Maret 2007. Di samping itu, terdapat pula trend peningkatan sumber pembiayaan perekonomian lainnya yang berasal dari penerbitan obligasi swasta yang meningkat sebesar Rp. 3 triliun pada bulan Maret 2007, yang diperkirakan akan diikuti pula dengan rencana penerbitan surat berharga pasar modal lainnya. NPL pada periode Maret 2007 juga membaik menjadi 6,6% (gross) dan 3,1% (net) dari posisi bulan sebelumnya sebesar 6,8% (gross) dan 3,4% (net). Sejalan dengan peningkatan kredit tersebut, total aset meningkat Rp 11,5 triliun (m-t-m) menjadi Rp 1.705 triliun. Rasio kecukupan modal (CAR) perbankan juga stabil pada angka 20,7%. Peningkatan kredit tersebut berdampak positif pada profitabilitas bank.
Net interest Income (NII) sedikit meningkat menjadi Rp 7,7 triliun dari bulan sebelumnya sebesar Rp 7,3 triliun, sedangkan Return on Assets (ROA) dapat dijaga pada level 2,7%.
Ke depan, secara umum proyeksi pertumbuhan ekonomi 2007-2008 masih sesuai dengan perkiraan semula yaitu 6,0% di tahun 2007 dan 5,7%-6,7% di tahun 2008. Belum kuatnya akselerasi pertumbuhan konsumsi swasta, khususnya pada tahun 2007, diharapkan dapat dikompensasi oleh besarnya pengeluaran pemerintah yang meningkat. Berbagai upaya pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi dan program untuk mempercepat realisasi pembangunan infrastruktur diperkirakan mampu mendorong investasi tumbuh lebih tinggi.
BI akan senantiasa mencermati perkembangan makroekonomi secara seksama dengan tujuan akhir untuk mencapai target kestabilan harga. BI akan tetap melaksanakan kebijakan moneter secara terukur dan berhati-hati dalam mencermati dinamika perekonomian. Terkait dengan hal tersebut, BI juga akan terus mendukung upaya pemerintah dalam menggerakkan perekonomian negeri, khususnya dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa seperti pengangguran dan kemiskinan.
Untuk informasi lebih lanjut silakan hubungi Budi Mulya, Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat, Bank Indonesia, Telp : (62-21) 381-7317 Fax : (62-21) 350-1867
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2007